Bloomberg Technoz

Menghitung Anggaran Janji Kampanye Capres, Bisa Dibiayai APBN?

1. Anies-Muhaimin

1 Desa Rp 5 Miliar

Dalam kunjungan ke Jombang (Jawa Timur) September lalu, Muhaimin menyinggung soal Dana Desa. Ini merupakan program yang diinisiasi pemerintahan Presiden Jokowi sejak 2015 yang merupakan amanat Undang-undang (UU) No 6/2004 tentang Desa.

Alokasi Dana Desa saat ini minimal 10% dari Dana Perimbangan yang diterima kabupaten/kota, setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun, DPR pada pertengahan tahun lalu sepakat untuk menaikkan porsi Dana Desa menjadi 20%. Dengan demikian, harapannya Desa Desa bisa mencapai Rp 2 miliar per tahun.

"Kami sudah menghitung dana desa untuk 2023 ini Rp 2 miliar per desa cukup. Bisa meningkat drastis Rp 5 miliar per desa. Ini target yang ingin diperjuangkan di pemerintahan baru," kata Muhaimin.

Dalam APBN 2024, Dana Desa mendapatkan alokasi anggaran Rp 71 triliun. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 83.794 desa di seluruh Indonesia pada 2022. Jadi andai mau dibagi sama rata sama rasa, maka per desa akan memperoleh Rp 847,32 juta. Masih di bawah Rp 1 miliar, apalagi Rp 2 miliar yang dicita-citakan DPR.

Sumber: BPK

Rata-rata pagu Dana Desa sepanjang 2015-2022 adalah Rp 58,62 triliun per tahun. Sedangkan rata-rata penyerapannya adalah Rp 58,47 triliun setiap tahunnya. Penyerapan Dana Desa selama ini cukup baik, dengan rerata 99,75% per tahun.

Jika Anies-Muhaimin ingin memberikan Dana Desa sebesar Rp 5 miliar per desa, maka kebutuhan anggarannya adalah Rp 418,97 triliun. Jumlah itu jauh lebih besar dari anggaran Dana Desa selama ini.

Armand Suparman, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), menyebut wacana Dana Desa Rp 5 miliar/desa bisa membuat APBN tidak seimbang.

"Kalau melihat kapasitas belanja negara memang bisa saja. Namun bagaimana fokus dan prioritas lain? Bisa saja, tetapi mengorbankan yang lain," tegasnya.

Selain itu, lanjut Armand, pemberian Dana Desa yang lebih besar dikhawatirkan justru berdampak negatif. Salah satunya berisiko menyuburkan praktik korupsi di desa.

"Kemudian, apa iya memang butuh sebesar itu? Dengan yang sekarang Rp 1 miliar/desa sudah cukup membantu meningkatkan kinerja desa," tuturnya.

Modal Usaha Rp 10 Juta

Program lain yang patut mendapat sorotan adalah janji modal usaha buat anak muda. Muhaimin menyebut siap untuk memberikan modal usaha Rp 10 juta tanpa agunan dan tanpa bunga untuk bisnis yang dipandang layak.

Sebenarnya program yang mirip dengan ini sudah ada, namanya Pembiayaan Ultra Mikro (UMi). Program ini ditujukan bagi mereka yang belum bisa difasilitasi oleh Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Kredit yang diberikan adalah Rp 1-10 juta/debitur dengan jaminan Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB). Pinjaman dengan tenor 12, 18, 24, dan 36 bulan dikenakan bunga 1,12% per bulan.

Per akhir semester I-2023, realisasi penyaluran UMi tercatat Rp 2,33 triliun kepada 468.574 debitur. Angka ini masih 26% dari target 2023.

Berdasarkan usia, sekitar 31% debitur UMi berumur 40-49 tahun. Kelompok usia 20-29 tahun hanya 14% dan di bawah 20 tahun cuma 1%.

Sejak diluncurkan pada 2017 hingga 2022, total penyaluran UMi sudah senilai Rp 26,2 triliun kepada 7,4 juta debitur.

Jadi untuk program yang disebut Muhaimin, sebenarnya sudah ada sejak 2017. Jika nanti Anies-Muhaimin terpilih, maka tinggal mengembangkannya saja dalam bentuk tanpa agunan dan nir-bunga.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai rencana pemberian modal usaha Rp 10 juta tersebut hanya program populis. Janji kampanye belaka demi meraih simpati calon pemilih.

Meski demikian, Esther menyatakan janji tersebut realistis untuk diwujudkan. Seperti disebut sebelumnya, sudah ada program serupa yaitu UMi.

"Harus berkala, rutin, dengan pembinaan. Kalau sudah bagus baru dilepas. Kalau cuma sekedar kasih uang, itu cuma bagi-bagi duit, tidak akan balik nanti duitnya. Tidak akan jadi UMKM yang berhasil, yang jadi besar usahanya," paparnya.

Tax Ratio Naik Sampai ke 16%

Selain itu, Anies-Muhaimin juga bertekad untuk meningkatkan penerimaan negara. Rasio penerimaan perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio yang pada 2022 berada di 10,4% ditargetkan naik menjadi 13-16% pada 2029.

Pada 2022, PDB Indonesia adalah Rp 19.588,4 triliun. Dengan asumsi ekonomi tumbuh 5% per tahun dan ceteris paribus (indikator lain dianggap tidak berubah), maka PDB pada 2029 akan menjadi Rp 27.562,84 triliun.

Dengan begitu, maka setoran perpajakan harus Rp 3.583,17 triliun jika ingin tax ratio ada di 13%. Andai mau 16%, maka penerimaan perpajakan harus Rp 4.424,45 triliun.

Per 2023, penerimaan perpajakan ada di Rp 2.155,4 triliun. Artinya, butuh lonjakan 66,24% untuk mencapai tax ratio 13% dan 105,27% jika ingin tax ratio menyentuh 16%.

Kalau ingin tax ratio ada di 13% pada 2029, maka penerimaan pajak harus naik rata-rata 13,25% per tahun. Apabila ingin tax ratio menjadi 16%, maka pertumbuhannya harus rata-rata 21,05% setiap tahunnya.

Sumber: BPK

Sepanjang 2015-2023, rata-rata pertumbuhan penerimaan perpajakan adalah 7,79% per tahun. Ada kalanya setoran perpajakan tumbuh 2 digit yakni pada 2021 dan 2022.

Namun itu lebih disebabkan faktor basis yang rendah setelah pandemi Covid-19, yang menyebabkan penerimaan perpajakan melonjak lebih dari 20% pada 2021. Kemudian pada 2022, setoran perpajakan sangat terbantu dari harga komoditas yang melambung.

Mengesampingkan 2020, 2021, dan 2022, rata-rata pertumbuhan penerimaan perpajakan tidak sampai 6% per tahun. Oleh karena itu, butuh upaya ekstra keras untuk mencapai pertumbuhan 13,25% apalagi sampai 21,05%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati belum lama ini menyampaikan bahwa pemerintah akan berhati-hati soal pajak. Sebab, pertumbuhan beberapa tahun terakhir sudah sangat tinggi.

"Kita bayangkan 2021 dan 2022 pertumbuhan penerimaan pajak sudah elevated sangat tinggi. Apakah kita bisa menjaga momentum pertumbuhan dari basis pajak kita?" tegas Sri Mulyani.

Namun, pengamat dan praktisi perpajakan Darussalam menyatakan potensi penerimaan pajak di Indonesia sebenarnya masih bisa terus digali. Misalnya dengan mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor-sektor tertentu.

"Sektor konstruksi berkontribusi 9,8% terhadap PDB, tetapi kontribusinya terhadap penerimaan pajak hanya 4,1%. Kemudian sektor pertambangan berkontribusi 12,2% terhadap PDB, tetapi kontribusi terhadap penerimaan pajak hanya 8,3%. Sedangkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB adalah 12,4% tetapi terhadap penerimaan pajak hanya 1,4%. Perlu ada kebijakan transisi untuk meningkatkan setoran pajak dari sektor-sektor yang undertaxed tersebut secara bertahap," jelas Darussalam.