Membaca Jokowi Effect di Peta Pemilu 2024
Ada tapi Tak Besar
Koalisi pengusung Ganjar-Mahfud dan Koalisi pengusung Anies-Imin tidak perlu berkecil hati dengan efek Jokowi ini. Pasalnya Lili Romli, peneliti politik dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), berpendapat bahwa Jokowi effect tidak akan sebesar ketika Pemilu 2014 dan 2019.
Lili menjelaskan Jokowi effect ini sekarang ada karena Jokowi masih getol mengucurkan bansos dan BLT kepada rakyat miskin Indonesia.
Peneliti BRIN ini menambahkan jika efek Jokowi itu masih besar, seharusnya elektabilitas Prabowo Gibran sudah menyentuh angkat 50% yang berarti bisa menang satu putaran jika berhasil mengumpulkan dukungan yang dibutuhkan sebelum hari pemberian suara di bulan Februari nanti.
Meski perlu dicatat bahwa pendapat Lili ini hanya merujuk pada satu hasil survei, yaitu dari CSIS yang dirilis Rabu (27/12/2023).
Survei ini menunjukkan elektabilitas pasangan itu berada di angka 46%, padahal menurut Lili Prabowo sudah memiliki basis suara dari dua pemilu sebelumnya ditambah suara dari partai-partai anggota koalisinya yang cukup banyak.
"Terbukti dengan survei elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran. Jika ada Jokowi effect mestinya pasangan ini sudah melewati batas psikologi elektabilitasnya, tapi kenyataannya tidak.
"Prabowo sudah dua kali maju di pilpres dan ini kali ketiga, harusnya elektabilitas dia tinggi. Elektabilitas sekarang ini jangan-jangan sudah paling tinggi dan stagnan," kata Lili pada Rabu (27/12/2023).
Lili menyinggung pemilih rasional yang berarti tidak akan serta merta memilih calon yang diusung oleh Jokowi.
"Mereka bisa menilai dengan berbagai faktor, dan ini terjadi di mata mereka Prabowo-Gibran bukan otomatis menjadi Jokowi 'aksen'," jelasnya.
"Wajar dan bahkan sangat rasional karena Jokowi dan Prabowo termasuk dengan Gibran adalah hal yang berbeda, tidak sama. Sehingga meski suka pada Jokowi, tidak otomatis harus memilih sosok yang direkomendasikan. Pemilih sekarang otonom dan rasional," jelas Lili.