Logo Bloomberg Technoz

Saat Otonomi Moneter Diuji (Lagi)

Andi Suryadi
19 March 2025 10:30

Ilustrasi rupiah. (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)
Ilustrasi rupiah. (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)
Andi Suryadi adalah seorang Peneliti di PRAKSIS dan mantan Analis Riset Ekonomi dan Investasi di Departemen Riset Investasi CIC. Fokus utama penelitiannya meliputi makroekonomi dan ketimpangan, ekonomi pembangunan, ekonomi moneter, serta ekonomi politik.

Penulis bisa dihubungi melalui: andisuryadisan@gmail.com

Pemangkasan BI 7-day (reverse) repo rate sebesar 25 basis poin pada pertengahan Januari tahun ini menggulirkan spekulasi motif non-ekonomi. Dalam situasi likuiditas yang ketat, otoritas diperhadapkan pada pilihan sulit untuk hanya memprioritaskan dua dari tiga tujuan utama ekonomi makro: stabilitas nilai tukar, kebebasan aliran modal asing, atau independensi moneter. Tampaknya, prioritas moneter lebih fokus pada kestabilan nilai tukar dan arus modal. Situasi yang juga terjadi saat pandemi di mana penurunan suku bunga dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan likuiditas di pasar.

Terjadi interaksi langsung antara kebijakan moneter dan fiskal, di mana pemangkasan suku bunga dilakukan untuk mendukung kebijakan fiskal ekspansif demi belanja pemerintah dan stimulus ekonomi. Selama pandemi, langkah moneter demikian bisa disebut sebagai respons taktis terhadap likuiditas yang terbatas. Saat itu, independensi bank sentral menjadi perhatian karena keputusan kebijakan moneter menurunkan suku bunga secara agresif, ditambah pembelian surat utang negara, dan burden sharing dikhawatirkan terlalu merespons tekanan fiskal sehingga dapat merugikan ekonomi dalam jangka panjang.

“Kejutan Januari” yang dilakukan tanpa sinyal sebelumnya (forward guidance) mengindikasikan tekanan dari pemerintah demi mendukung pertumbuhan dan kebutuhan belanja fiskal. Terlebih, kebijakan moneter ekspansif ini dipilih di tengah konteks skandal tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) disertai ketidaksesuaian kondisi ekonomi untuk urgensi langkah tersebut.

Andi Suryadi (Bloomberg Technoz)

Langkah ekspansif biasanya diambil ketika pertumbuhan melambat, tingkat pengangguran tinggi, atau munculnya risiko deflasi. Tujuan utamanya adalah mendorong konsumsi dan investasi dengan tujuan memacu pertumbuhan ekonomi. Saat ini, suku bunga riil yang sekitar 4,18% diharapkan untuk meningkatkan likuiditas swasta (meningkatkan belanja swasta) untuk mempertahankan konsumsi. Namun, melebarnya defisit transaksi berjalan mengindikasikan kesenjangan tabungan-investasi yang disebabkan tingginya belanja swasta dan belanja fiskal. Risikonya, rupiah akan melemah lebih lanjut. Kesediaan bank sentral menerima nilai tukar yang lebih lemah ini sudah ditangkap pasar melalui tren aliran modal keluar yang signifikan. 

Sejak September 2024, rupiah telah melemah sekitar 7% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan kehilangan 80% nilainya dalam dua dekade terakhir. Penurunan suku bunga domestik dapat memicu aliran modal keluar, yang semakin menekan nilai tukar (Obstfled dan Rogoff, 1996). Pemotongan suku bunga dalam situasi ini juga berisiko memperburuk tekanan dengan meningkatkan biaya pinjaman. Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami kejatuhan sekitar 21 persen sejak Agustus tahun lalu, kurva imbal hasil membentuk pola bear-steepen. Kejatuhan harga obligasi negara, IHSG, dan penurunan peringkat saham, sesungguhnya justru mencerminkan urgensi bank sentral untuk memprioritaskan stabilisasi mata uang dan pemulihan kepercayaan investor, bukan mengambil langkah yang memicu risiko sebaliknya.

Konsekuensinya, Bank Indonesia (BI) harus merespons dengan menerbitkan Sekuritas Rupiah BI (SRBI) dengan imbal hasil tinggi sekitar 7,30% untuk jangka waktu 12 bulan. Demi membantu meningkatkan kapasitas BI dalam intervensi valuta asing langsung, pemerintah juga mengamanatkan agar para eksportir komoditas menahan sebagian dari pendapatan devisa di dalam negeri (onshore) selama minimal satu tahun. Langkah ini merupakan tindak lanjut dari kebijakan sebelumnya yang mewajibkan eksportir untuk memarkirkan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) paling sedikit 30% selama minimal 3 bulan.

Namun, efektivitas inisiatif strategis otoritas moneter tersebut dapat terhambat dengan meluasnya ketidakpercayaan pasar. Persoalan CSR yang sedang berlangsung menunjukkan konvergensi kepentingan politik, fiskal, dan moneter yang berpotensi mengganggu komitmen bank sentral terhadap tujuan jangka panjang i.e. stabilitas harga karena target jangka pendek pertumbuhan ekonomi (mendongkrak konsumsi domestik) dan kepentingan politik.

Tantangan Tata Kelola

Kegagalan bank sentral dalam memenuhi target kebijakan dapat merusak ekspektasi inflasi publik sehingga berimplikasi pada kebijakan moneter yang kurang efektif (Lucas, 1976). Indikasinya, selama 23 tahun terakhir, BI hanya mencapai target inflasi pada 2004 dan 2007, di mana sisanya inflasi aktual selalu mengalami divergensi (lebih tinggi atau lebih rendah) dengan rentang target. Tidak dapat dimungkiri, kegagalan tata kelola dan intervensi politik disertai tantangan eksternal seperti gejolak ekonomi global dan fluktuasi harga komoditas telah bertautan melemahkan efektivitas operasional otoritas moneter.

Bukan hanya melemahkan efektivitas kebijakan moneter, melemahnya kepercayaan publik juga memiliki dimensi sosial-politik yang menjadi fondasi penting bagi keberlanjutan institusi demokrasi. Politisasi sumber daya BI memotret epidemi praktik “politik uang” yang kian mengaburkan batas antara kepentingan pelayanan publik dan politik. 

Dana program sosial BI (PSBI) memang rawan digunakan untuk memengaruhi keputusan politik terkait anggaran atau dukungan legislatif yang melemahkan fungsi cheks and balances. Potensi ini vis-à-vis dengan lonjakan biaya kampanye. Menurut Prihatini dan Wardani (2024), biaya rata-rata kampanye untuk pemilihan umum 2024 mencapai Rp 5 miliar (sekitar $315.000), dibandingkan Rp250 juta pada tahun 2009 menjadi antara Rp1,8-4,6 miliar pada 2014. Bertolak dari konteks ini, alokasi dana CSR untuk mendukung anggota parlemen di daerah pemilihan (Dapil) mencerminkan keterikatan yang mengganggu antara otoritas ekonomi dan manuver politik.

Mandat BI secara khusus fokus pada menjaga stabilitas harga (inflasi) dan memastikan stabilitas nilai tukar rupiah. Artinya, kewajiban bank sentral hanya berpusat pada: (1) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; (2) mengatur dan memelihara sistem pembayaran yang efisien; dan (3) mengawasi operasional perbankan, yang tanggung jawabnya kemudian dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2011. Tindakan di luar kewenangan tersebut tidak hanya merupakan penyalahgunaan wewenang, tetapi juga merugikan negara dan merupakan pelanggaran hukum. Pengalihan dana CSR yang diperuntukkan bagi kegiatan sosial untuk tujuan yang menyimpang dari misi utama BI sebagaimana tercantum dalam UU No. 23/1999 dan amandemennya merupakan salah satu contoh “politik uang.” Selain membahayakan otonomi BI, mengikis kepercayaan publik, dan merusak fungsi sistem demokrasi, praktik ini juga melanggar batas-batas hukum dan etika.

Terdapat dua contoh yang menunjukkan betapa seriusnya dampak kompromi terhadap independensi bank sentral. Pertama, pada awal 2000-an, kurangnya otonomi bank sentral memungkinkan pemerintah Argentina mengeksploitasi kebijakan moneter demi membiayai defisit fiskal. Tindakan ini bermuara pada krisis matang uang, inflasi yang meroket, dan ekonomi yang mengalami kontraksi dramatis. Kedua,  pada akhir tahun 2000-an, intervensi politik terhadap otoritas moneter untuk mencetak uang secara berlebihan di tengah hiperinflasi demi membiayai pengeluaran publik berujung pada runtuhnya nilai dolar Zimbabwe. 

 Sepanjang sejarah ekonomi Indonesia, BI telah melewati serangkaian tantangan berat yang menguji kredibilitas dan otonominya. Saat krisis keuangan Asia (1997-98), campur tangan pemerintah membatasi BI yang sedang bergulat dengan depresiasi rupiah yang tajam dan lonjakan inflasi untuk menerapkan kebijakan moneter yang efektif. Terlebih, dana talangan dari program bantuan likuiditas BI (BLBI) yang disalahgunakan bank-bank dengan ikatan politik menjadi katalisator perluasan korupsi.

Pada 2004, kredibilitas BI kembali diuji dengan skandal suap yang melibatkan mantan Deputi Gubernur Senior. Persoalan ini mengungkap kelemahan sistemik yang memungkinkan pengaruh politik merusak operasi bank sentral. Hampir lima tahun kemudian, kontroversi dana talangan Bank Century (2008–2009) mengemuka. Dana yang awalnya ditujukan untuk menstabilkan sektor keuangan di tengah krisis keuangan global, membengkak dari Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7 triliun, tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Dugaan pengalihan dana talangan untuk kampanye politik semakin mencoreng citra BI dalam hal penanganan krisis dan meningkatkan kekhawatiran atas transparansi dan intervensi politik. Mendesaknya kebutuhan tata kelola di sektor keuangan bermuara pada pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk memperkuat pengawasan.

Terakhir, pada tahun 2013, ketika the Fed mengumumkan strategi pengurangan stimulus (tapering off), BI dikritik atas respons yang lamban dalam menangani arus keluar modal (capital outflow) dan kejatuhan nilai tukar rupiah. Kerentanan dalam kemampuan mengelola guncangan eksternal secara efektif dengan penundaan kenaikan suku bunga dan inkonsistensi komunikasi kebijakan lantas memicu ketidakpastian pasar. Akibatnya, skeptisisme mengenai kemanjuran intervensi moneter menyeruak.

Integritas Moneter: Barometer Ekonomi dan Demokrasi

Agar persoalan kredibilitas tidak terus berulang, diperlukan reformasi menyeluruh yang memperkuat tata kelola internal dan melindungi otonomi bank sentral. Titik tolak reformasi dapat dimulai dari restrukturisasi program PSBI melalui dua cara. Pertama, menetapkan pedoman yang jelas dan dapat ditegakkan untuk alokasi, pengelolaan, dan pengawasan dana sehingga dapat dipastikan keselarasannya dengan mandat utama untuk menjaga stabilitas moneter dan integritas ekonomi. Kedua, meningkatkan kontrol internal—melalui tata kelola yang etis, audit yang ketat, evaluasi independen, dan mekanisme pelaporan yang transparan—sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan dana dan memperkuat akuntabilitas.

Seiring reformasi internal, otoritas moneter juga harus memprioritaskan transparansi dan akuntabilitas publik. Inisiatif seperti forum publik dan pelaporan yang komprehensif dan mudah diakses tentang pengeluaran CSR akan menumbuhkan kepercayaan publik dan mendorong dialog yang konstruktif dengan para pembuat kebijakan, pelaku pasar, dan masyarakat sipil. Tujuannya yaitu membangun budaya akuntabilitas dan komitmen yang teguh terhadap tata kelola ekonomi yang bertanggung jawab.

Diperlukan juga penyelerasan strategis CSR dengan mandat utama menjaga stabilitas moneter dan memperdalam pasar keuangan domestik. Inisiatif CSR semestinya menambah, bukan mengurangi, fungsi penting bank sentral. Program yang mempromosikan literasi keuangan, memperluas inklusi keuangan, dan meningkatkan infrastruktur keuangan di wilayah yang kurang terlayani secara langsung berkontribusi pada misi BI untuk memperkuat ketahanan ekonomi. Dengan memfokuskan upaya CSR pada inisiatif yang mendukung kesadaran keuangan publik dan integritas kelembagaan, BI dapat dengan cekatan memenuhi tanggung jawab sosial sembari teguh pada tujuan ekonomi nasional. Dengan kata lain, BI harus menggambarkan batasan yang ketat, membatasi kegiatan CSR pada inisiatif yang selaras dengan peran hukumnya dan mengecualikan upaya yang sensitif secara politis atau bersifat diskresioner. 

Reformasi ini melampaui penyesuaian prosedural belaka dengan tujuan untuk menjaga integritas kelembagaan, otonomi, dan memulihkan kepercayaan publik—elemen yang sangat diperlukan untuk stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pada akhirnya, integritas bank sentral tidak hanya mewujudkan ketahanan ekonomi tetapi juga berfungsi sebagai barometer daya hidup demokrasi.

(and/red)