Tren ESG Indonesia 2025
Regulasi Ketat hingga Teknologi AI dalam Keberlanjutan
Andryato Eko Nugroho
19 March 2025 10:32

Andryanto EN adalah anggota ESG Task Force di perusahaan emiten terbuka, berpengalaman dalam strategi keberlanjutan, dekarbonisasi, dan tjsl. Ia berperan dalam memastikan kepatuhan ESG, integrasi bisnis berkelanjutan, serta mendukung inisiatif Net Zero Emission 2060 dan Taksonomi Hijau Indonesia. Penulis bisa dihubungi melalui: andryanto.en@gmail.com |
Keberlanjutan bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mutlak. Di tahun 2025, konsep Environmental, Social, and Governance (ESG) bukan lagi sekadar jargon dalam laporan tahunan perusahaan, tetapi telah menjadi standar utama dalam dunia bisnis. Dengan regulasi yang semakin ketat, ekspektasi investor yang lebih tinggi, dan perubahan pola konsumsi yang lebih sadar lingkungan, ESG menjadi landasan bagi perusahaan untuk tetap relevan dan kompetitif.
Lalu, seperti apa wajah ESG di Indonesia tahun ini? Berikut lima tren utama yang membentuk industri dan investasi di era keberlanjutan:
1. Regulasi ESG Semakin Ketat: Era Transparansi Pasar Modal Dimulai
Pasar modal kini semakin serius dalam menilai aspek keberlanjutan sebuah perusahaan. Bursa Efek Indonesia (BEI) meluncurkan ESG Reporting dalam sistem Sarana Keterbukaan Informasi Bagi Perusahaan Tercatat (SPE-IDXnet).
Sederhananya, perusahaan yang ingin bertahan dan menarik investor harus lebih transparan dalam kinerja ESG mereka. Formulir E020 yang kini menjadi bagian dari pelaporan tahunan akan memaksa perusahaan untuk lebih bertanggung jawab atas dampak lingkungan dan sosial dari operasionalnya.
Bahkan, hingga akhir 2024, 94% perusahaan tercatat di BEI telah menerbitkan Sustainability Report, angka yang menunjukkan bahwa ESG bukan lagi sekadar formalitas, tetapi telah menjadi bagian dari strategi bisnis.

2. ESG Jadi Kunci Akses Pendanaan: Bank dan Investor Semakin Selektif
Jika dulu akses pendanaan hanya bergantung pada laporan keuangan, kini ada faktor lain yang lebih penting: bagaimana perusahaan mengelola dampak lingkungannya.
Bank-bank besar seperti BRI, BNI, dan Mandiri menetapkan target peningkatan portofolio green financing. Artinya, perusahaan yang ingin mendapatkan pendanaan dengan bunga rendah harus memiliki strategi keberlanjutan yang jelas.
Tidak hanya itu, investor global seperti BlackRock dan Temasek semakin agresif dalam mencari perusahaan yang sudah siap dengan ESG. Bagi perusahaan yang masih bergantung pada energi fosil, ini bisa menjadi alarm peringatan besar.
3. Transisi Energi: Fokus pada Energi Terbarukan
Indonesia menargetkan Net Zero Emission (NZE) pada 2060, dengan percepatan transisi energi pada 2025. Salah satu inisiatif utama adalah proyek "Bali Green Hydrogen Project", yang menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi hidrogen hijau di Asia Tenggara.
Sementara itu, sektor industri juga melakukan penyesuaian. Pertamina, melalui unit kilangnya, berencana memproduksi Sustainable Aviation Fuel (SAF) bersertifikat International Sustainability Carbon Certification (ISCC) pada kuartal pertama 2025, menggunakan minyak jelantah sebagai bahan baku utama.
Di sektor konstruksi, WIKA Beton telah mengembangkan produk beton pracetak rendah karbon sebagai bagian dari transisi industri menuju pembangunan berkelanjutan. Dengan memperoleh sertifikasi Environmental Product Declaration (EPD), WIKA Beton membuktikan kontribusinya dalam mengurangi emisi karbon melalui inovasi material infrastruktur.
4. ESG dalam Rantai Pasok: Transparansi melalui Teknologi
Jika dulu perusahaan bisa lepas tangan dengan hanya melihat hasil akhir produksi, kini tidak lagi. Regulator global menuntut transparansi penuh dalam rantai pasok.
Uni Eropa dan Amerika Serikat bahkan mewajibkan perusahaan Indonesia membuktikan bahwa produk mereka tidak berasal dari deforestasi atau praktik eksploitasi tenaga kerja.
Teknologi menjadi solusi utama dalam menjawab tantangan ini. Blockchain mulai diadopsi oleh industri sawit dan pertambangan untuk memastikan rantai pasok yang lebih transparan.
Selain itu, AI juga semakin banyak digunakan untuk memantau dan menganalisis jejak karbon secara real-time. Teknologi ini memungkinkan perusahaan mengurangi emisi sebelum terlambat.
5. Kebijakan Pajak dan Insentif ESG Semakin Agresif
Pemerintah Indonesia terus meningkatkan kebijakan insentif pajak untuk mendorong praktik ESG. Perusahaan yang berinvestasi dalam proyek energi terbarukan atau bisnis berbasis ekonomi sirkular kini dapat menikmati pengurangan pajak dan sejumlah insentif.
Sektor kendaraan listrik (EV) juga mengalami lonjakan insentif. Pemerintah memberikan subsidi bagi EV dan baterai daur ulang, mempercepat adopsi kendaraan listrik di Indonesia. Perusahaan transportasi seperti Gojek dan Grab telah mengalihkan sebagian besar armadanya ke kendaraan listrik dengan dukungan dari produsen baterai lokal.
Pada akhirnya, perusahaan yang beradaptasi lebih cepat dengan prinsip ESG tidak hanya akan bertahan tetapi juga berkembang di tengah persaingan global. Tahun 2025 bukan hanya menjadi tahun transisi, tetapi juga titik balik bagi Indonesia dalam membangun ekonomi yang lebih hijau, berkelanjutan, dan kompetitif di pasar internasional.
(aen/red)