Logo Bloomberg Technoz

Kolosal Tanah Jarang

Rionanda Dhamma Putra
11 March 2025 20:17

Ilustasi area deposito mineral tanah jarang (dok Bloomberg)
Ilustasi area deposito mineral tanah jarang (dok Bloomberg)

Rionanda Dhamma Putra adalah Treasury Economist Bank Danamon Indonesia sejak Desember 2024. Pribadinya adalah seorang pembelajar yang ingin tahu banyak hal. Lulus dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) pada tahun 2023, minatnya berkutat pada ekonomi politik, ekonomi regional, dan keuangan.

Penulis bisa dihubungi melalui : Rionanda.Putra@danamon.co.id


Geopolitik global tengah memasuki titik balik yang akan membentuk sejarah ke depan. Babak ini dimulai ketika Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menuntut hak kendali atas mineral tanah jarang senilai 500 miliar dolar AS sebagai syarat melanjutkan bantuan ke Ukraina. Meski Presiden Zelensky terus menyatakan penolakan, tentakel administrasi Trump terus berupaya menekan Kiev agar menyetujui permintaan tersebut.

Layaknya tangan Thanos dalam kolosal Marvel, mineral tanah jarang menjadi penentu tatanan dunia. Satu langkah salah, seluruh sistem pascamodern bisa runtuh. Bayangkan jika produksi Yttrium, yang memberi warna pada layar gawai pintar, mendadak berhenti, atau lithium dan terbium, komponen kunci baterai kendaraan listrik, diembargo.

Tak heran jika AS begitu agresif mengejar tanah jarang. Produksi miliaran perangkat teknologi dan transisi menuju net zero bergantung padanya. Siapa yang menguasai tanah jarang, akan menguasai dunia.

Perebutan Harta Karun Abad Ini

Menurut laporan "Mineral Commodity Summaries 2025" yang diterbitkan oleh U.S. Geological Survey, Tiongkok mendominasi cadangan mineral tanah jarang dengan 44 juta metrik ton, setara dengan 49% dari total global. Di tengah konfliknya dengan Ukraina, Rusia memiliki 3,8 juta metrik ton, atau 4% dari cadangan dunia. Sementara itu, AS hanya menguasai 1,9 juta metrik ton, setara dengan 2% dari total global, menunjukkan ketergantungan besar pada pasokan tanah jarang dari negara lain.

(Dok. Z-Zone)

Jika dihitung menggunakan Herfindahl-Hirschmann Index (HHI), konsentrasi cadangan tanah jarang di dunia termasuk tinggi sebesar 3.076. Dikuasai oleh 12 negara, sebagian besar cadangan ini terkonsentrasi di Tiongkok, aktor ancaman keamanan nasional bagi AS. Tidak heran jika Washington terus mengejar ketertinggalan dalam penguasaan mineral tanah jarang. Ini sudah menjadi keharusan geopolitik dengan Ukraina sebagai pintu masuk strategis.

Kyiv School of Economics memperkirakan Ukraina memiliki 120 juta metrik ton cadangan tanah jarang yang telah atau sebagian ditambang, serta 305 juta ton yang masih belum digarap. Nilai ekonominya diperkirakan berkisar antara 3 hingga 26 triliun dolar AS, dengan sekitar 33% dari cadangan tersebut (setara 12 triliun dolar AS) kini dikuasai Rusia. 

Jika Kiev akhirnya menyetujui permintaan AS untuk mengendalikan sumber daya ini, posisi Washington dalam kompetisi tanah jarang akan melonjak drastis. Ketergantungan AS pada pasokan Tiongkok akan berkurang, sementara perusahaan teknologi dan eksplorasi mineral AS akan mendapatkan lahan baru untuk memperkuat rantai produksinya. Pendekatan transaksional semacam ini memang tidak biasa, namun dampaknya mungkin akan terasa lebih wajar. 

Bisa saja terjadi eskalasi kompetisi antara AS, Tiongkok, dan negara-negara produsen lainnya untuk menguasai pangsa pasar global. Fenomena ini berpotensi memicu gelombang eksploitasi sumber daya seperti Demam Emas 1852 di California, ketika penambangan besar-besaran mengubah keseimbangan ekonomi dan ekologi. Jika sejarah terulang, persaingan tanah jarang bisa mengarah pada dampak serupa: Mengubah peta geopolitik dunia sambil mendorong pertumbuhan industri teknologi global.

Rionanda Dhamma Putra

Pelajaran untuk Masa Depan

Perbandingan antara kompetisi tanah jarang saat ini dan Demam Emas 1852 hanya relevan dalam hal dampak insentif ekonomi yang ditimbulkan. Selebihnya, situasi ini lebih menyerupai perlombaan nuklir di era Perang Dingin. Negara adidaya seperti AS dan Uni Soviet di masa lalu—dan kini Tiongkok serta India sebagai kekuatan potensial—berlomba untuk mengamankan sumber daya yang menjadi penentu kekuatan mereka. Jika dulu supremasi ditentukan oleh kepemilikan arsenal nuklir, kini ia bergeser ke penguasaan arsenal mineral.

Pengalaman periode 1945-1991 bisa menjadi acuan. Jika persaingan ini makin dianggap berbahaya, negara-negara produsen tanah jarang berpotensi duduk di satu meja untuk menyepakati mekanisme pengendalian. Namun, karena faktor pasar turut berperan, kemungkinan besar mekanisme yang terbentuk akan menyerupai pembentukan kartel pembatasan produksi. Ini mirip dengan pendirian OPEC pada 1960.

Jika kartel ini terbentuk, harga tanah jarang bisa melonjak, membuka peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkan kebijakan hilirisasi batu bara. Sejak Januari 2024, Badan Geologi Kementerian ESDM telah menemukan bahwa ash dan bottom ash batu bara Indonesia mengandung mineral tanah jarang, dengan kadar mencapai 118 ppm (Anggara dkk., 2018). Tantangannya sekarang adalah bagaimana memanfaatkan potensi strategis tersebut.

(rio)