Membangun Digital Leadership
Antara Regulasi Fleksibel dan Tantangan Digitalisasi
Muhammad Awaluddin
11 March 2025 20:08

Muhammad Awaluddin adalah seorang praktisi transformasi digital dan pembelajar Digital Leadership, memiliki pengalaman luas di industri digital dan telekomunikasi dengan menjabat sejumlah posisi strategis yakni Direktur Utama PT Infomedia Nusantara (Member Telkom Group) pada 2010 - 2012, lalu Direktur Enterprise & Business Service Telkom Indonesia pada 2012 - 2016. Karirnya juga merambah sektor transportasi dengan menjabat sebagai Direktur Utama PT Angkasa Pura II pada 2016 - 2023 dan Komisaris Utama PT Pelni sejak 2024 hingga kini. Muhammad Awaluddin juga merupakan pendiri Indonesia Digital Society Forum (IDSF). Penulis bisa dihubungi melalui: mawaluddin@gmail.com |
Beberapa waktu lalu, saya diundang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi narasumber dalam acara Leadership Refreshment Program untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang kepemimpinan digital (digital leadership) kepada para karyawan OJK.
Saya diminta membawakan materi dengan topik Digital Leadership: Lead with Digital Mindset kepada para peserta. Topik ini sekaligus menandakan besarnya perhatian OJK terhadap perkembangan teknologi digital dan implikasinya ke sektor jasa keuangan.
Sebagai praktisi transformasi digital, yang sebagian besar karir ada di BUMN bidang teknologi dan informasi, saya begitu senang karena OJK sudah sangat baik dalam mengawal transformasi digital sektor jasa keuangan.
Pelaku di sektor jasa keuangan memang seperti berlomba-lomba memanfaatkan teknologi digital dalam memberikan layanan. Teknologi seperti blockchain, artificial intelligence (AI) dan fintech sudah digunakan agar layanan keuangan dapat semakin luas dalam menjangkau berbagai lapisan masyarakat.
Digitalisasi seperti ini tidak hanya ada di sektor jasa keuangan, tetapi juga sedang terjadi sektor-sektor lainnya seperti kesehatan, pendidikan, transportasi dan lain sebagainya.
Pengalaman penulis saat memimpin perusahaan operator bandara terbesar di Indonesia, teknologi digital sudah sangat diperlukan untuk mendukung operasional bandara dan meningkatkan pelayanan kepada penumpang pesawat.
Tren yang terus meningkat di transportasi udara adalah para penumpang pesawat lebih memilih memproses dan mengurus perjalanan sendiri. Misalnya, mereka lebih suka membeli tiket secara online, lalu check in mandiri secara online atau dengan mesin self check in di bandara, kemudian melakukan self baggage check in untuk memasukkan barang bawaan ke bagasi pesawat. Karena itu, kami kemudian menyiapkan fasilitas-fasilitas yang bisa mendukung keinginan traveler tersebut.
Pun demikian terkait operasional bandara. Kami menyiapkan infrastruktur digital untuk memantau seluruh fasilitas dan mempermudah kolaborasi dengan seluruh stakeholder. Kalau tidak memanfaatkan digitalisasi, maka dipastikan operasional bandara tidak bisa berjalan baik.

Kondisi di sektor jasa keuangan dan transportasi udara ini mempertegas bahwa digitalisasi bukan lagi sekedar pilihan melainkan suatu keharusan.
Beragam inovasi berbasis digital akan terus bermunculan. Namun, yang lebih penting dari sekadar inovasi adalah bagaimana regulator merespons perubahan ini. Di sinilah peran digital leadership menjadi sangat penting.
Regulator, dalam hal ini kementerian atau lembaga pemerintah, tidak hanya bertugas menjaga stabilitas industri tetapi lebih dari itu juga harus memastikan regulasi yang diterapkan selalu relevan dan tidak menghambat inovasi.
Laju perkembangan teknologi sangat cepat, sehingga regulasi berbasis aturan yang kaku tidak lagi memadai. Sebaliknya, dibutuhkan regulasi yang fleksibel dan berbasis prinsip agar dapat menyesuaikan diri dengan dinamika pasar dan teknologi.
Bagaimana dapat menjawab tantangan ini di tatanan regulator? Digital leadership adalah jawabannya.
Digital Leadership: Pilar Utama Regulasi di Era Digital
Seorang pemimpin digital di tatanan regulator tidak hanya harus memahami teknologi, namun juga harus mampu mengelola perubahan, memimpin inovasi, dan mengarahkan organisasi agar tetap kompetitif.
Digital leadership dalam konteks regulator ini harus memiliki tiga karakter utama.
Pertama, kemampuan beradaptasi (adaptability). Sosok pemimpin digital harus dapat merespons perubahan teknologi dengan cepat, bukan sekedar mengikuti perkembangan tetapi juga proaktif mengantisipasi risiko dan peluang.
Kedua, digital leadership di tatanan regulator harus bisa mendorong inovasi (inovation). Ekosistem regulasi jangan hanya sekedar mengatur namun lebih dari itu harus bisa mendorong inovasi. Di sektor jasa keuangan, regulator dapat membuat ruang uji (regulatory sandbox) menjadi lebih fleksibel untuk mengakomodasi eksperimen di sektor fintech, insurtech dan bank digital tanpa menghambat pertumbuhan. Salah satu kunci poin ini adalah pendekatan principle-based regulation memungkinkan inovasi berkembang tanpa harus terhambat oleh aturan yang kaku.
Ketiga, digital leadership harus mengedepankan pengelolaan risiko teknologi (Risk Management in Technology). Seiring dengan meningkatnya digitalisasi sektor keuangan, risiko keamanan siber dan privasi data juga meningkat. Regulasi yang ada harus memastikan perlindungan konsumen dan memberantas tindakan kriminal seperti misalnya pencucian uang, serta memastikan keamanan infrastruktur digital.
Dengan memenuhi ketiga karakter ini, regulator dapat memperkuat perannya menjadi lebih adaptif dan inovatif di tengah implementasi digitalisasi yang kian masif oleh pelaku industri. Regulator akan mampu menyusun regulasi yang selaras dengan kebutuhan industri dan masyarakat.
Tiga pilar strategis untuk menjadi regulator digital
Digital leadership ini kemudian dapat membawa regulator untuk menjadi regulator digital, dengan memperkuat tiga pilar utama, yaitu Regulasi yang Fleksibel dan Pro-Inovasi, Pengawasan Berbasis Teknologi, dan Membangun Digital Mindset.
Pada pilar Regulasi yang fleksibel dan Pro-Inovasi, regulator harus mendorong regulasi yang memberi fleksibilitas ruang untuk inovasi namun tetap dalam koridor keamanan dan pemenuhan terhadap peraturan. Regulasi yang ada harus memberikan kepastian hukum tanpa menghambat perkembangan teknologi. Dalam hal ini, regulatory sandbox harus dapat dioptimalkan.
Kemudian pada pilar Pengawasan Berbasis Teknologi, regulator harus mengadopsi konsep Supervisory Technology (SupTech) dan Regulatory Technology (RegTech), yaitu: Menggunakan AI dan Big Data dalam pengawasan, mengotomatisasi compliance reporting agar tidak perlu lagi menyerahkan laporan kepatuhan rutinitas secara manual yang memakan waktu dan sumber daya besar, lalu memanfaatkan blockchain untuk audit dan transparansi regulasi.
Melalui pemanfaatan teknologi digital, regulator dapat memastikan pengawasan yang dilakukan bisa sesuai di era digitalisasi ini. Misalnya sebagai contoh, pengawasan transaksi keuangan dapat dilakukan dengan baik, aman dan transparan.
Pilar ketiga adalah Membangun Digital Mindset. Regulasi dan pengawasan yang berbasis digital tidak akan efektif tanpa perubahan mindset. Sejalan dengan itu, perlu adanya kesamaan visi di regulator bahwa pembangunan kompetensi digital adalah prioritas.
Ini bisa dilakukan melalui pelatihan dan edukasi digital, lalu membangun budaya inovasi agar teknologi digital bisa dilihat sebagai suatu peluang tidak hanya tantangan. Apabila mindset digital sudah terbangun, maka kolaborasi dengan ekosistem digital akan lebih mudah dilakukan untuk lebih responsif terhadap perubahan teknologi dan mengembangkan regulasi yang lebih adaptif serta berbasis data.
Kesimpulan: Mewujudkan Regulator Digital yang Adaptif dan Inovatif
Transformasi digital di seluruh sektor menuntut regulator bergerak cepat dalam menyesuaikan regulasi dan sistem pengawasannya. Tantangan utama bukan hanya pada bagaimana regulasi dibuat, tetapi juga pada bagaimana digital leadership diterapkan di tatanan regulator.
Untuk menjadi regulator digital yang adaptif dan inovatif, harus dibangun ekosistem regulasi yang fleksibel, mengadopsi teknologi dalam pengawasan, dan menanamkan digital mindset di setiap lini organisasi.
Jika gagal beradaptasi, maka bukan hanya regulator yang tertinggal, tetapi juga industri yang kehilangan daya saing di era digital. Namun, jika strategi ini dijalankan dengan benar, Indonesia dapat optimal dalam menjalankan transformasi digital di seluruh sektor secara terarah dengan pondasi yang kuat, aman dan berkelanjutan.
(awa)