Dinamika Kesejahteraan dalam #NoBuy
Rionanda Dhamma Putra
19 February 2025 06:22

Rionanda Dhamma Putra adalah Treasury Economist Bank Danamon Indonesia sejak Desember 2024. Pribadinya adalah seorang pembelajar yang ingin tahu banyak hal. Lulus dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) pada tahun 2023, minatnya berkutat pada ekonomi politik, ekonomi regional, dan keuangan. Penulis bisa dihubungi melalui : Rionanda.Putra@danamon.co.id |
Tahun 2025 dibuka dengan tren viral #NoBuyChallenge, di mana warganet menahan belanja di luar kebutuhan pokok. Bahkan, ada yang menunda potong rambut dan perawatan kulit demi memenuhi tantangan tersebut. Jika tren ini terus berlanjut, konsumsi sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi bisa melemah. Lantas, apa yang melatarbelakangi fenomena ini?
Dampak Keputusan Belanja 2021-2024
Tren ini berakar dari perubahan pola belanja pascapandemi. Pada 2021-2022, terjadi belanja “balas dendam,” di mana kelas menengah-atas menghabiskan tabungan yang dikumpulkan selama 2020 untuk membeli barang-barang keinginan. Dengan terbatasnya hiburan akibat pembatasan sosial, banyak orang mencari pelarian lewat belanja, termasuk keinginan kecil seperti lipstik (lipstick effect).
Data Survei Konsumen Bank Indonesia mencatat tingkat tabungan terhadap pendapatan sempat memuncak di 20,3% (Desember 2020) sebelum turun ke 14,1% (September 2021). Konsumen berpenghasilan Rp4,1-5 juta per bulan paling banyak menguras tabungan, dari 23,1% (Desember 2020) menjadi 14,9% (September 2021). Tren ini berlanjut hingga Sep 2023 dengan porsi konsumsi mencapai 76,3%. Perubahan angka ini menggambarkan bahwa konsumen sedang gencar belanja

Namun, sejak Januari 2024, belanja “balas dendam” berbalik menjadi bumerang. Konsumsi turun dari 74,6% ke titik terendah 73% (Mei 2024), sementara tabungan stagnan di kisaran 16,2%-16,6%. Akibatnya, rasio pembayaran utang terhadap pendapatan naik dari 9,3% ke 10,3% (Mei 2024) dan mencapai 10,4% (Desember 2024). Tingkat tabungan pun turun tajam hingga 15% (Oktober 2024) sebelum pulih ke 15,3% (Januari 2024).
Perubahan pola belanja ini menunjukkan adanya siklus: Saat tabungan meningkat, konsumsi melonjak dalam 2-3 bulan berikutnya. Akan tetapi, saat tabungan menurun, konsumsi melemah dan dialihkan ke pembayaran utang. Ini menggambarkan apa yang disebut sebagai persepsi kesejahteraan subjektif (subjective well-being). Sebagaimana persepsi manusia terhadap realitas, dia bisa berubah cepat seiring waktu berjalan. Perubahan bisa terjadi tidak hanya dari faktor uang, melainkan pula faktor ruang yang membentuk pandangan konsumen atas kesejahteraan dirinya.
Lebih dari Sekadar Pendapatan
Fenomena ini terkait dengan persepsi kesejahteraan subjektif (subjective well-being), yang dapat berubah seiring waktu. Tidak hanya faktor finansial, ekspektasi masa depan juga berperan besar. Studi Anna, Yusuf, Alisjahbana, & Ghina (2019) menemukan korelasi positif antara optimisme terhadap masa depan dan persepsi kesejahteraan saat ini. Konsumen yang optimis cenderung merasa lebih sejahtera dan meningkatkan konsumsi.
Optimisme ini dipengaruhi oleh tingkat kepuasan hidup, di mana pendapatan saat ini memainkan peran utama. Regresi data World Values Survey (WVS) 7 menunjukkan bahwa setiap kenaikan kepuasan finansial sebesar 1 poin meningkatkan kepuasan hidup sebesar 0,43 poin. Pepatah bahwa “uang bukan segalanya, namun segalnya perlu uang” memang benar adanya.
Namun, uang bukan satu-satunya faktor. Jenis dan kondisi pekerjaan juga berpengaruh. Studi yang sama menemukan bahwa nelayan dengan anak buah merasa lebih bahagia dibandingkan nelayan tanpa anak buah, menunjukkan bahwa fleksibilitas dalam mengatur waktu luang juga berperan dalam kesejahteraan subjektif.
Implikasi Kebijakan Kesejahteraan
Kebijakan belanja sosial berbasis program “baju pengekang” seperti Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) makin berisiko tidak efektif. Meski pendapatan bertambah, persepsi kesejahteraan subjektif bisa tertekan jika ruang belanja masa depan semakin terbatas. Oleh karena itu, inovasi kebijakan yang menyatukan berbagai bantuan sosial dalam bentuk tunai menjadi penting. Jika penerima manfaat memilih untuk #NoBuy, setidaknya tabungan mereka dapat meningkat dan mendukung konsumsi di masa depan.
DISCLAIMER
Opini yang disampaikan dalam artikel ini sepenuhnya merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan sikap, kebijakan, atau pandangan resmi dari Bloomberg Technoz. Kami tidak bertanggung jawab atas keakuratan, kelengkapan, atau validitas informasi yang disajikan dalam opini ini.
Setiap pembaca diharapkan untuk melakukan verifikasi dan mempertimbangkan berbagai sumber sebelum mengambil kesimpulan atau tindakan berdasarkan opini yang disampaikan. Jika terdapat keberatan atau klarifikasi terkait isi opini ini, silakan hubungi redaksi melalui contact@bloombergtechnoz.com
(rio)