Logo Bloomberg Technoz

Satu Lustrum Kebangkitan Pariwisata

Dari Penopang Ekonomi Hingga Potensi Sumber Devisa

Lucky Christ Nugroho
18 February 2025 10:36

Kawasan pariwisata Mandalika. (Dok. wonderfulimages.kemenparekraf.go.id)
Kawasan pariwisata Mandalika. (Dok. wonderfulimages.kemenparekraf.go.id)

Lucky Christ Nugroho adalah Ekonom Yunior di Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia. Lulus dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) pada tahun 2019, ia telah bergabung dengan Bank Indonesia sejak tahun 2021. Ia memiliki minat yang kuat terhadap isu-isu terkait ekonomi moneter, pembangunan, dan regional.

Penulis bisa dihubungi melalui : lucky_christ@bi.go.id

Satu lustrum berlalu, kinerja pariwisata dalam ekonomi terus menunjukan perbaikan setelah menghadapi tantangan berat selama pandemi. Sebelum pandemi, kontribusi pariwisata terhadap perekonomian mencapai 5% pada 2019. Namun, krisis global yang melanda membuat angka tersebut anjlok menjadi 2,2% pada tahun berikutnya. Seiring dengan pemulihan ekonomi dan meningkatnya mobilitas masyarakat, sektor ini kembali bangkit, mencatatkan kontribusi sebesar 4,1% pada 2024 meskipun masih di bawah level prapandemi.

Meskipun secara kontribusi ekonomi belum pulih sepenuhnya, sebagai sektor yang padat karya, sektor pariwisata mampu menciptakan lapangan kerja dengan impresif. Pada 2024, sektor ini berhasil menyerap hingga 25 juta tenaga kerja, melonjak 20% dibandingkan periode prapandemi yang mencatatkan jumlah 21 juta pekerja. Pencapaian ini menegaskan bahwa sektor pariwisata merupakan sektor yang adaptif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari perannya yang melibatkan banyak industri pendukung seperti akomodasi, transportasi, dan perdagangan. 

Tidak hanya itu, pariwisata juga memiliki andil yang besar dalam mendorong pendapatan devisa negara. Peningkatan devisa ini diperoleh dari pengeluaran wisatawan mancanegara (wisman) untuk membayar hotel, restoran, dan belanja selama berwisata. Secara sederhana, hasil penukaran uang asing oleh wisman akan masuk ke dalam sistem keuangan dan pada akhirnya menjadi mata uang asing yang dikelola bank sentral sebagai cadangan devisa. Di Indonesia, nilai devisa yang didapatkan dari sektor pariwisata (ekspor jasa perjalanan) mencapai 14 miliar dolar AS pada tahun 2023. Nilai ini sebenarnya masih belum sekuat pada masa prapandemi (17 miliar dolar AS) dan bahkan dibawah hasil ekspor komoditas-komoditas utama Indonesia, seperti batu bara (35 miliar dolar AS), besi/baja (28 miliar dolar AS), dan minyak sawit (24 miliar dolar AS). 

Jika berkaca dari negara-negara ASEAN sebagai tolok ukur, potensi pendapatan devisa dari sektor pariwisata di Indonesia masih sangat besar. Sebagai contoh, pada tahun 2023, Thailand mampu meraup devisa pariwisata hingga 30 miliar dolar AS. Nilai devisa ini lebih dari dua kali lipat pencapaian Indonesia. Singapura mencatatkan devisa pariwisata sebesar 21 miliar dolar AS, sementara Malaysia sedikit lebih unggul dari Indonesia dengan 15 miliar dolar AS. 

Lebih lanjut, keberhasilan mengoptimalkan potensi devisa pariwisata dapat menjadi obat defisit neraca jasa yang persisten selama ini. Pariwisata menjadi sektor yang paling potensial dibanding mengejar ketertinggalan pada sektor kelogistikan internasional yang berdaya saing rendah.

Lucky Christ Nugroho - Ekonom Yunior Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia

Mengejar ketertinggalan pada sektor pariwisata bukanlah hal yang mustahil bagi Indonesia. Terlebih lagi, pengembangan pariwisata di Indonesia terus mendapatkan nilai positif di mata dunia. Hal ini dibuktikan dari keberhasilan Indonesia menempati peringkat ke-22 dari 119 negara di dunia dalam Travel and Tourism Development Index (TTDI) 2024. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia patut berbangga karena mampu menempati peringkat ke-2 mengungguli Thailand dan Malaysia. 

Pemerintah memang terus berkomitmen dalam membangun pariwisata Indonesia ke arah pariwisata yang berkualitas (quality tourism). Melalui konsep ini, pengembangan pariwisata diarahkan untuk mengupayakan keberimbangan antara kuantias, kualitas, dan keberlanjutan. Berbagai inisiatif pengembangan telah dilakukan khususnya di Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP). Beberapa contoh tersebut antara lain: i) kebijakan penetapan carrying capacity di Borobudur; ii) integrasi sport tourism berkelas internasional dengan kearifan budaya lokal di Mandalika dan Danau Toba; iii) komitmen pemerintah melalui perbup hingga perda terkait perlindungan ekonomi lokal, pelestarian lingkungan, dan pelestarian budaya di Labuan Bajo dan Likupang.    

Ke depan, setidaknya terdapat dua strategi yang perlu disasar jika Indonesia mau mengoptimalkan pendapatan devisa dari sektor pariwisata. Pertama, penguatan promosi yang menargetkan negara-negara dengan wisman kategori pengeluaran tinggi (high-spender tourist). Wisman asal Eropa merupakan wisman dengan rata-rata pengeluaran yang relatif lebih tinggi yakni mencapai 4.778 dolar AS atau sekitar 75 juta Rupiah (kurs: Rp15.750/USD). Angka ini jauh diatas pengeluaran wisman asal ASEAN yang rata-rata menghabiskan sebesar 744 dolar AS atau sekitar 12 juta Rupiah saja. Sayangnya, mayoritas wisman ke Indonesia saat ini masih didominasi oleh wisman dari negara ASEAN (35%) dan Asia non-ASEAN (28%) sedangkan Eropa masih berada pada urutan ke-3 (17%).

Kedua, peningkatan lama tinggal wisman selama berlibur. Secara historis, kecuali pada saat pandemi, rata-rata wisman berlibur di Indonesia selama 7 hingga 9 hari di Indonesia. Potensi pendapatan devisa dapat dimaksimalkan dengan meningkatkan lama tinggal wisman. Pelaku usaha pariwisata perlu didorong untuk mengembangkan paket-paket wisata yang mengintegrasikan destinasi pariwisata di berbagai daerah. Integrasi dilakukan baik antar 10 daerah prioritas pariwisata (DPP) maupun dengan daerah pariwisata yang telah maju seperti Bali dan Yogyakarta. Sebagai contoh, pengembangan paket wisata Bali-Lombok yang menawarkan keunikan budaya suku Bali dan Sasak, serta keindahan alamnya, dalam satu paket wisata terintegrasi. Contoh paket wisata yang potensial lainnya antara lain seperti Jakarta-Banten dengan destinasi utama Kepulauan Seribu dan Tanjung Lesung, Jateng-Jatim dengan destinasi utama Borobudur dan Bromo.

Dengan modal daya saing global yang tinggi, menjadikan pariwisata Indonesia semakin terdepan bukanlah hal mustahil. Melalui strategi di atas, potensi devisa dan pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata diharapkan dapat menjadi lebih optimal ke depan. Pada akhirnya, dengan devisa dan ekonomi yang kuat, stabilitas ekonomi terjaga dan kesejahteraan masyarakat meningkat.

DISCLAIMER

Opini yang disampaikan dalam artikel ini sepenuhnya merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan sikap, kebijakan, atau pandangan resmi dari Bloomberg Technoz. Kami tidak bertanggung jawab atas keakuratan, kelengkapan, atau validitas informasi yang disajikan dalam opini ini.

Setiap pembaca diharapkan untuk melakukan verifikasi dan mempertimbangkan berbagai sumber sebelum mengambil kesimpulan atau tindakan berdasarkan opini yang disampaikan. Jika terdapat keberatan atau klarifikasi terkait isi opini ini, silakan hubungi redaksi melalui contact@bloombergtechnoz.com

(luc)