Irman Faiz lulus dari Universitas Indonesia pada 2016 dan pernah berkiprah di Citi, lalu Bank Indonesia, dan terakhir menjadi ekonom di Bank Danamon dengan jabatan Assistant Vice President. Kini, Irman tengah bersekolah di Harvard University, mengejar gelar Master in Public Administration in International Development, Economics. |
Belakangan ini, Indonesia ramai diperbincangkan sebagai calon anggota BRICS. Keinginan pemerintah yang baru untuk bergabung dengan blok ekonomi ini menjadi sorotan publik, terutama di tengah situasi geopolitik yang relatif tidak stabil. Dua negara pendiri BRICS, Rusia dan Tiongkok, berperan besar dalam berbagai konflik global selama beberapa tahun terakhir seperti invasi Rusia ke Ukraina dan perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Jika bergabung, Indonesia akan menghadapi dinamika ekonomi yang penuh tantangan dan kesempatan baru.
Posisi BRICS di Panggung Global
BRICS dibentuk pada 2006, dengan anggota awal Brasil, Rusia, India, dan Tiongkok, sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi Barat. Blok ini didirikan atas dasar potensi pertumbuhan ekonomi negara anggotanya yang pesat pada awal 2000-an, dengan visi bahwa negara berkembang dalam BRICS dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi dunia. Sejak 2023, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS diselenggarakan setiap tahun dengan semakin intensif. Pada tahun lalu, Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab resmi bergabung dengan BRICS dan menyatakan kesepakatan untuk mempercepat upaya dedolarisasi.
Dedolarisasi
Dedolarisasi merupakan langkah untuk mengurangi atau bahkan meninggalkan penggunaan dolar AS dalam perdagangan internasional, khususnya antar negara BRICS. Inisiatif ini sebenarnya sudah ada sejak BRICS dibentuk, namun semakin diprioritaskan setelah invasi Rusia ke Ukraina, yang menyebabkan Rusia terkena sanksi dalam sistem pembayaran global. Hal ini membuat perdagangan internasional dalam dolar AS menjadi lebih sulit bagi Rusia.
Namun, dalam satu dekade terakhir, upaya dedolarisasi belum menunjukkan hasil signifikan. Menurut data Dana Moneter Internasional (IMF), cadangan devisa bank sentral dunia dalam bentuk dolar AS masih sekitar 60%, jauh di atas mata uang lain seperti Euro (21%), Yen (6%), dan Poundsterling (5%). Meski porsi dolar turun dari 70% pada tahun 1999, penurunan 10% dalam hampir dua dekade dianggap sangat lambat. Dalam perdagangan internasional, dolar AS tetap mendominasi dengan sekitar 40% dari total pembayaran global.
Ada beberapa faktor yang membuat dolar AS tetap dominan. Pertama, sejarah menunjukkan bahwa dolar menjadi mata uang utama sejak Perang Dunia II dan perjanjian Bretton Woods, yang menghubungkan mata uang sekutu dengan dolar, bukan emas. Permintaan yang tinggi atas dolar AS membuat nilainya relatif stabil dan meningkatkan kepercayaan pasar. Kedua, pasar keuangan AS yang dalam menyediakan berbagai instrumen keuangan dalam dolar, sehingga “mempersulit” negara lain untuk menarik arus modal ke negara masing-masing. Ketiga, besarnya aset dalam dolar menyebabkan biaya dedolarisasi sangat tinggi, penjualan aset dolar secara drastis bisa menyebabkan penurunan nilai dan kerugian pasar yang besar.
Di Indonesia, sekitar 50% dari aset valas bank sentral dalam denominasi dolar AS. Upaya dedolarisasi yang drastis akan berdampak negatif pada nilai aset dan stabilitas moneter. Jika Indonesia bergabung dengan BRICS dan turut serta dalam agenda dedolarisasi yang masif. Langkah ini harus dipersiapkan matang agar tidak mengganggu stabilitas ekonomi domestik. Bank sentral juga perlu mempertimbangkan sejauh mana dedolarisasi akan dilakukan, mengingat peran dolar dalam kebijakan moneter untuk stabilisasi rupiah.
Mata Uang BRICS
Tidak hanya dedolarisasi, pada KTT BRICS 2023 di Johannesburg, Presiden Brasil mengusulkan pembentukan satu mata uang bersama bagi negara anggota untuk memperkuat perdagangan dan investasi. Meskipun usulan ini menarik, hingga kini belum ada konfirmasi dari pemimpin negara lain. Pembentukan mata uang bersama bukanlah hal yang mudah dan akan menghadapi sejumlah tantangan signifikan. Salah satunya adalah perbedaan kondisi geografis, karakteristik ekonomi, dan ukuran ekonomi masing-masing negara anggota. Misalnya, Brasil, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di kawasan, memiliki GDP sekitar 2 triliun dollar AS, sedangkan ekonomi Afrika Selatan dan Rusia masing-masing sekitar 350 miliar dan 1,5 triliun dollar AS. Perbedaan besar ini bisa menimbulkan ketegangan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan moneter.
Contoh serupa dapat dilihat pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang pernah mencetuskan ide pembentukan serikat mata uang seperti Uni Eropa. Namun, gagasan tersebut tidak terwujud karena perbedaan kepentingan ekonomi di antara anggota ASEAN yang sangat bervariasi. Sebagai contoh, negara-negara seperti Singapura, yang memiliki ekonomi sangat maju, memiliki kepentingan yang berbeda dibandingkan dengan negara-negara yang masih berkembang seperti Myanmar dan Laos. Ketidakcocokan ini menyebabkan kesulitan dalam menyatukan kebijakan moneter yang efektif.
BRICS menghadapi tantangan yang lebih kompleks, mengingat latar belakang konflik geopolitik yang melibatkan beberapa anggotanya, seperti ketegangan antara Rusia dan negara-negara Barat. Selain itu, perbedaan dalam sistem politik dan kebijakan ekonomi di antara anggota BRICS, seperti Tiongkok yang memiliki model ekonomi terpusat dan India yang menerapkan ekonomi pasar bebas, dapat memperburuk risiko ketidakstabilan. Semua faktor ini menunjukkan bahwa meskipun pembentukan satu mata uang bersama bisa meningkatkan efisiensi perdagangan dan investasi, realisasinya sangat tergantung pada kesepakatan dan keselarasan di antara negara-negara anggota, yang saat ini tampaknya sulit dicapai.
Menjaga Keseimbangan dan Kewaspadaan
BRICS memang membuka peluang baru bagi Indonesia dalam penguatan posisi di kancah global. Namun, pemerintah perlu mempertimbangkan langkah mitigasi agar tidak terjebak dalam dominasi satu blok ekonomi tertentu. Menjaga keseimbangan antara Barat dan Timur tetap penting bagi stabilitas ekonomi dan diplomasi Indonesia. Dengan mempertimbangkan potensi besar dan tantangan yang mungkin dihadapi, langkah Indonesia menuju BRICS dapat menjadi bagian penting dalam peran ekonomi global tanpa mengabaikan independensi diplomatik yang selama ini menjadi kekuatan tersendiri bagi Indonesia.
(irm)