Logo Bloomberg Technoz

Menuju Dana Haji Berkelanjutan yang Aman, Adil dan Abadi

Indra Gunawan
17 December 2024 12:11

Ilustrasi Haji (Bloomberg Technoz)
Ilustrasi Haji (Bloomberg Technoz)
Indra Gunawan, Anggota Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) 2022-2027

Sejarah pengelolaan haji Indonesia tercatat jejaknya saat era kolonial. Pada masa VOC, pengelolaan perjalanan haji dibatasi dan sering kali dipersulit. Pasca-kemerdekaan, pemerintah membentuk Panitia Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia (P3H) dan kemudian Dewan Urusan Haji (DUHA), namun pengelolaan keuangan dan operasional yang bercampur menyebabkan inefisiensi dan skandal keuangan.

P3H yang kemudian digantikan oleh Dewan Urusan Haji (DUHA) lalu mendirikan PT. Arafat sebagai entitas bisnis transportasi haji (kapal laut) dimana lagi-lagi faktor dana yang dikelola penyelenggara menjadi ihwal momok masalah. Saham PT Arafat diambil dari dana setoran Jemaah haji tanpa pengawasan yang terpisah dan independen, biaya perjalanan haji (ONH) terus meningkat drastis akibat inflasi menyebabkan PT. Arafat harus dinyatakan pailit. Pokok masalah adalah adanya campur aduk kewenangan operasional dan finansial yang kerap menghambat efisiensi.

Pada 1965, tugas penyelenggaraan haji diserahkan kepada Departemen Urusan Haji yang kemudian berubah menjadi Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah di bawah Kementerian Agama. Reformasi besar terjadi saat lahirnya UU No. 17 Tahun 1999, yang memperkuat transparansi dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan haji dengan adanya system SISKOHAT. Puncaknya, UU No. 34 Tahun 2014 melahirkan BPKH yang memisahkan pengelolaan finansial dengan aspek operasional.

Titian Rencana Strategis Dana Haji yang Aman

Tujuh tahun sejak Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) resmi beroperasi, anak bangsa dapat merayakan serangkaian pencapaian monumental dalam pengelolaan keuangan haji. Keberhasilan BPKH meraih predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) enam tahun berturut-turut, yang mencerminkan ukuran kualitatif transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik dari BPK RI harus diikuti oleh capaian kuantitatif nominal yang fenomenal.

Estimasi akhir Desember 2024 dana haji yang dikelola BPKH akan mencapai Rp170 triliun, yang terdiri dari dana biaya penyelenggaraan Ibadah haji sebesar Rp166 triliun dan Dana Abadi Umat (DAU) mendekati Rp4 triliun. Nilai manfaat BPKH di akhir 2024 nanti diestimasi akan tembus di atas Rp11,5 triliun. Trend ini meningkat pesat karena pada tahun 2023 masih di level Rp10,9 triliun sementara 2022 hanya di Rp10,13 triliun.

Fakta bahwa dana kelolaan haji aman dan tumbuh meningkat seiring nilai manfaat yang selalu mencapai rekor tertinggi beberapa tahun ini menjadi bukti nyata bagaimana BPKH mampu memaksimalkan dana umat. Dana awal berasal dari individual Jemaah (private fund) kemudian membentuk positive externalities dengan menjangkau banyak kemanfaatan dan kemaslahatan (public goods and utilities) khususnya sarana dan prasarana keumatan bagi asset bangsa yang berkualitas.

Titian rencana strategis (renstra) BPKH secara bertahap dilalui dengan aman, dimulai dari "Capability Enhancement" di 2024 dengan penguatan SDM berbasis kompetensi, dilanjutkan "Quality Service" di 2025 dengan optimalisasi pengelolaan entitas usaha dan efisiensi BPIH. Tahun 2026 mengusung tema "Boosting Public Trust" melalui penguatan tata kelola keuangan haji, dan pada 2027, BPKH menargetkan tetap aman menjadi badan "Trusted & World-Class".

Tantangan dan Solusi Dana Haji Agar Adil dan Abadi

BPKH diindikasi akan menghadapi tantangan besar pada 2027, saat ada dua musim haji akibat berhimpitnya kalender Hijriah-Masehi. Hal ini berpotensi menggandakan BPIH menjadi Rp42 triliun, sehingga dana kelolaan BPKH dapat berkurang drastis dari Rp170 triliun menjadi Rp128 triliun. Mitigasi risiko jemaah tunggu saat ini mencapai 5,4 juta orang dengan asumsi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) seebsar Rp93,4 juta maka future liabilities akan mencapai Rp504 triliun. Ketidakseimbangan ini berisiko menciptakan pola "ponzi" jika pembayaran nilai manfaat dan BPIH hanya mengikuti pola tagihan agregat dari pengadaan seperti biasa. Pola investasi jangka Panjang patut diprioritaskan.

Tantangan antrian panjang, rata-rata 25 tahun, diperparah oleh reformasi haji di Arab Saudi melalui Visi 2030 yang membuka sistem visa dari G to G ke B to B. Visa ziarah memungkinkan jemaah haji di luar kuota reguler, namun mekanisme transparansi dan tatakelola layanannya tidak ada kejelasan. Perubahan ini dapat menciptakan disrupsi, sehingga BPKH perlu memperkuat dukungan dan partisipasi dalam skema Business to Business (investment approach).

Solusinya ada dalam perintah UU No. 34 Tahun 2014, khususnya Pasal 10 (f) dan Pasal 16 ayat (1), (2), dan (3), dimana BPKH diberikan tanggung jawab untuk mengelola nilai manfaat dari setoran haji dengan mendistribusikan nilai manfaat tersebut secara berkala ke rekening virtual jemaah haji berdasarkan persentase yang disetujui oleh DPR. Distribusi Nilai Manfaat Virtual Account (NMVA) harus berkelanjutan dan berkeadilan, yang harus dihitung berdasarkan durasi antrean. Di era BPKH saja lah penyaluran Rp14 triliun nilai manfaat kepada jemaah tunggu dilakukan sebagai novelty yang ideal. Mekanisme ini mirip dividen koperasi, memberikan keadilan kepada semua anggota jemaah.

Kritik yang muncul dari Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia 2024 adalah terkait distribusi nilai manfaat yang lebih besar selama ini kepada jemaah yang berangkat senilai total Rp 35 triliun. Ke depan, pendekatan Money Value of Time (MVT) diterapkan agar jemaah yang menunggu lebih lama mendapat manfaat lebih besar. BPKH mendorong skema top-up Tabungan agar saldo Jemaah naik pesat, memungkinkan mereka meningkatkan saldo haji melalui iuran bulanan.

Misalnya, dengan menabung Rp1 juta per bulan selama 10 tahun dengan asumsi imbal hasil 6% per tahun, saldo dapat mencapai Rp165 juta. Ini menyerupai perencanaan keuangan modern dan dapat menjadi opsi investasi halal yang bersinergi dengan Bank Syariah (BPS-BPIH) sehingga tumbuh bersama termasuk bersama Muamalat sebagai anak usaha BPKH

Menuju Dana Haji Global yang Aman-Adil-Abadi

BPKH memiliki potensi menjadi pengelola dana halal terintegrasi, tidak hanya mengelola tabungan haji, tetapi juga tabungan wakaf, zakat, infaq, sedekah, kifarat, nazar dan hibah. Langkah ini terinspirasi dari penyerahan hibah saham Bank Muamalat dari Islamic Development Bank (IsDB) dan SEDCO Group, dimana BPKH sejak 2021 menjadi Pemegang Saham Pengendali (PSP) setara 77,42% saham. Dana wakaf dan aset hibah ini dapat dioptimalkan sebelum/setenor dengan pembiayaan proyek pembangunan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan ekonomi berbasis syariah.

Dengan demikian, BPKH memiliki peran strategis dalam pengelolaan pool of fund besar yang dapat digunakan untuk pembangunan nasional. Dana BPKH telah berkembang dari Rp100 triliun menjadi Rp170 triliun pada akhir 2024. Memang mayoritas masih pada instrumen Sukuk Negara yang dijamin oleh UU No. 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dimana terdapat banyak utilities/public goods serta sarana prasarana keumatan yang dibangun dari aset Barang Milik Negara (BMN) untuk digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN.

Sementara dana setoran awal pada deposito Bank Syariah dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kedua instrument di atas mendapat insentif dimana pajaknya telah dikecualikan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 dan UU No. 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan Dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Ada arbitrage benefit sehingga BPKH berpotensi menjadi "Sovereign Halal Fund" yang mengglobal.

BPKH bergegas mewujudkan visi sebagai pengelola keuangan haji yang tepercaya, profesional, dan berkelas dunia, setara dengan Lembaga Tabung Haji Malaysia, Public Investment Fund (PIF) Arab Saudi bahkan Abu Dhabi Investment Authority yang asetnya di atas ratusan miliar dollar. Semoga BPKH selalu dalam lindungan Allah agar dapat menjaga dana haji tetap "Aman, Adil, dan Abadi" (AAA).

(ind/red)

Artikel Terkait