Moch. Doddy Ariefianto adalah pengamat ekonomi-perbankan dan Head of Program Finance di Binus University sejak September 2022. |
Millennium baru menyaksikan kelahiran dan pertumbuhan yang kencang dari sektor bisnis yang ditopang oleh teknologi yang dikenal dengan nama New economy (OEDCD, 2004). Meskipun terobosan teknologi juga merambah proses operasional (back office) dalam tulisan ini akan dibahas dampak pada model bisnis.
Menurut Scheneider(2017) bisnis new economy memiliki fitur sebagai berikut. Pertama, sangat padat modal melalui investasi teknologi yang intens terutama IT dan database. Kedua, cakupan bisnis melintasi negara (global in nature) dan tidak lagi membidik pasar lokal. Hal ini adalah implikasi yang alamiah akibat skala ekonomi yang sangat besar akibat fixed cost yang masif. Ketiga, fokus yang semakin besar kepada konsumen yang ditopang dengan data. Keberadaan sosial media dan kebijakan open data telah memberikan gambaran 360 derajat atas seorang konsumen Tingkat teknologi saat ini juga memungkinkan analisa dilakukan pada data yang bergerak dan besar (streaming analytics dan big data). Dengan demikian promosi dapat dilakukan secara lebih personal dan efektif. Terakhir bisnis new economy lebih mengandalkan pengalaman atas akusisis dan pemanfaatan produk-jasa dibandingkan fitur yang melekat pada produk itu sendiri. Sebagai ilustrasi kita memperoleh kepuasan dari menginap pada hotel idaman dengan discount terbesar (yang diperoleh dari aplikasi aggregator); kepuasan yang tidak ada hubungannya sama sekali pada fasilitas hotel itu sendiri.
Banyak sekali perusahaan-perusahan new economy lahir dan tumbuh menakjubkan. Saat ini kita mengenal perusahaan-perusahaan seperti Amazon, Uber, Facebook, Twiter, ANT Finance dan Google sebagai perusahaan idaman investor. Perusahan-perusahaan new economy juga hadir di Indonesia, beberapa yang telah mencapai status Decacorn dan Unicorn adalah GoTo, Ovo, J&T Express, Bukalapak dan Traveloka.
Menurut kementeri perdagangan porsi new economy diperkirakan 4% PDB pada tahun 2020. Pada tahun 2030 porsi bisnis new economy diprediksi mencapai 19%. Pandemi Covid 19 telah mendorong new economy; tapi pasca Pandemi terlihat adanya reality check. Awal tahun 2023, kita disambut oleh berbagai berita kelabu terkait performa perusahaan new economy baik pada level internasional maupun nasional. Kita dapat mengkategorikan berita-berita ini sebagai sinyal awal yang dapat menjadi sanity check atas fenomena melesatnya new economy. Apakah kedepan sektor ini masih akan tetap menjadi primadona? Kita masih berada dalam arus sejarah yang sedang bergerak.
Baca Juga
Harus diakui bahwa bisnis new economy membawa implikasi yang substansial pada perilaku konsumen maupun perusahaan. Sebagai contoh eCommerce menantang kita untuk merubah perilaku belanja dari berbasis kunjungan ke toko (untuk observasi dan evaluasi produk) menjadi cukup display (serta mengandalkan peer review-testimony) sebagai dasar pembelian produk. Keberadaan bisnis ini juga secara drastis merubah wajah rantai distribusi barang.
Perkembangan new economy juga memberikan dampak ekonomi makro; yang tidak kalah pentingnya yakni ledakan impor. Pola eCommerce saat ini umumnya bersifat lebih langsung (Business to Customer; B2C). Menurut laporan UNESCAP (2018); Indonesia adalah salah satu negara dengan aturan jumlah minimum pengenaan bea impor (De minimis) paling “murah hati”. Tidak heran pada periode 2016-1019, diperkirakan terjadi peningkatan barang impor terkait eCommerce sebesar 814%. Hal ini tentu bukan perkembangan yang dikehendaki dari aspek pembangunan ekonomi. Jika dibiarkan berlanjut maka perekonomian Indonesia akan terancam defisit neraca perdagangan dan deindustrialisasi.
Bagaimana Indonesia menyikapi perkembangan new economy? Pertama; kita harus mengakui bahwa pergeseran perilaku bisnis ini sangat mungkin here to stay. Bagaimana tepatnya bentuk ekuilibrium yang baru mungkin belum terdeteksi tetapi gambaran awal telah terlihat. Data terkini dari Statista menunjukkan rasio nilai transaksi melalui eCommerce baru sekitar 8.2% dari total bisnis retail di Indonesia. Angka ini masih terhitung rendah dibandingkan angka global yang sebesar 19%. Pada tahun 2026; angka ini diperkirakan sebesar 25%.
Kedua new economy adalah suatu bisnis ekosistem yang saling terjalin baik dengan produk komplementer dan pesaing maupun layanan pelengkap. Layanan aggregator, e-money, ekspedisi dan on line lending-pay later adalah berapa bisnis yang telah menjadi standar ekosistem bisnis digital. Bisnis konvensional juga terlihat melakukan asimilasi untuk mengembangkan pengalaman belanja hybrid.
Penting bagi pemerintah-regulator untuk memastikan bahwa bisnis-bisnis new economy memberikan nilai tambah yang optimal bagi Indonesia. Untuk eCommerce hal ini dilakukan misalnya dengan syarat pembuatan lokasi produksi di dalam negeri dan menyamakan persyaratan impor dengan bisnis retail konvensional (sehingga tidak ada arbitrage). Dorongan untuk memberdayakan industri dalam negeri juga diperbesar dengan aturan supply chain melibatkan pengusaha domestik khusunya UMKM. Karakteristik global juga memungkinkan pengembangan pasar produk-jasa Indonesia secara lebih ekstensif. Pemerintah memerlukan tim khusus untuk pemasaran dgn cara digital; mengingat karakteristik yang khas.
Pengembangan new economy bukan tanpa memiliki risiko. Sejatinya mungkin masih banyak risiko yang belum dipahami dan ditangani dengan baik khususnya terkait dengan privacy dan cybersecurity. Secara khusus World Economic forum telah memasukkan cyber security sebagai salah satu dari 10 risiko utama global ditahun 2023. Risiko ini sangat luas mencakup phissing hingga pembobolan system dan masih banyak aspek yang belum dipahami dengan baik. Terdapat juga risiko ekonomi makro, dimana arus barang memiliki pola yang mendisrupsi industri dalam negeri. Hal langsung yang telah kita lihat saat ini adalah meredupnya pusat-pusat perbelanjaan. Disisi lain pusat belanja telah pindah ke ruang virtual dengan biaya “sewa” jauh lebih murah.
Bisnis emoney-epayment saat ini masih bersifat retail; ketika bisnis ini telah bersifat wholesale atau bahkan lintas negara maka bukan tidak mungkin ada risiko stabilitas system keuangan. Alat pembayaran selama ini adalah domain dari lembaga berdaulat (sovereign; menteri keuangan dan bank sentral) dan perbankan. Alat pembayaran adalah likuiditas perekonomian yang “takarannya” akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan perekonomian disamping instrument kebijakan penting. Kerangka pengaturan dan alat intervensi harus sudah dipersiapkan.
Opini ini tidak mencerminkan pendapat Bloomberg Technoz, PT Berita Mediatama atau Bloomberg LP dan pemiliknya. |
(dod)