“Melalui Medco Power, kami berusaha memproduksi energi baru sebanyak mungkin dengan emisi karbon rendah. Saat ini, kami sedang membangun 40 megawatt pembangkit listrik geothermal di Jawa Barat, 50 megawatt pembangkit listrik tenaga surya di Bali, dan baru saja menyelesaikan 26 megawatt pembangkit listrik tenaga surya di Sumbawa untuk operasional kami,” ungkap dia.
Selain itu, kata Hilmi Panigoro, melalui anak perusahaan Medco lain, Amman Mineral Nusa Tenggara, telah memproses penggantian sumber energi batu bara menjadi gas, tenaga surya, dan angin, dalam proses produksi tembaganya.
“Ini yang saya sebut sebagai transisi energi sukarela dalam perusahaan. Prosesnya sudah berlangsung dan full speed. Semoga tren ini juga bisa diikuti oleh perusahaan lain,” tambah dia.
Secara umum, upaya transisi menuju energi terbarukan sering kali berbenturan dengan keamanan energi itu sendiri. Karena bisa jadi berdampak pada pemberian subsidi dua kali lipat oleh pemerintah.
“Medco saat ini sedang membangun pembangkit tenaga surya 50 megawatt di Bali tanpa baterai dan kita bisa jual ke PLN. Kalau kita tambahkan baterai, harganya bisa tiga kali lipat. Jadi, kalau kita membangun panel surya dengan baterai secara masif saat ini, PLN harus menaikkan harganya dua kali lipat atau pemerintah harus mensubsidi dua kali lipat. Ini tidak bagus untuk negara,” jelas Hilmi Panigoro.
Hilmi Panigoro menyampaikan transisi energi akan berjalan sepenuhnya saat Indonesia memiliki teknologi yang cukup memadai untuk memproduksi energi terbarukan secara ekonomis. “Ini yang saya sebut menyeimbangkan sustainability dan keamanan energi. Transisi energi akan terjadi sepenuhnya di pace yang tepat, di saat yang tepat, dan saat teknologi kita cukup memadai untuk membangun sumber energi terbarukan secara ekonomis,” tegasnya.
(tar/wep)