Logo Bloomberg Technoz

Pada saat yang sama, laju pertumbuhan kredit juga mulai bangkit pada Mei lalu, meski masih di single digit 9,34% setelah terperosok di level terendah bulan sebelumnya. 

Akan tetapi, gejala kelesuan terutama dari sisi permintaan konsumen sulit diabaikan begitu saja. Indeks Penjualan Riil pada April tumbuh 1,5%, melambat dibanding Maret sebesar 4,9%. Di mana pada Mei, penjualan ritel diperkirakan hanya tumbuh 0,02% dan perkiraan kinerja untuk kuartal II-2023 hanya sebesar 0,8% dari 1,6% dibanding kuartal I-2023. 

Sementara prakiraan kinerja penjualan dalam 3-6 bulan ke depan yaitu Juli dan Oktober, hasil survei memprakirakan penjualan ritel akan menurun dengan Indeks Ekspektasi Penjualan masing-masing sebesar 129 dan 130,1. 

"Penurunan penjualan pada Juli dan Oktober diperkirakan karena tertahannya permintaan domestik serta berakhirnya program diskon yang dilakukan oleh responden," jelas BI.

Kelesuan permintaan juga terlihat dari semakin landainya inflasi inti, yang menjadi salah satu indikator daya beli masyarakat, di mana pada Juni lalu menurun ke posisi 2,58% dari 2,66% pada bulan sebelumnya. 

Di tengah kelesuan kinerja ekspor karena faktor permintaan global yang melemah dan penurunan harga komoditas dunia, pertumbuhan ekonomi RI tahun ini akan banyak berharap pada laju konsumsi domestik baik belanja rumah tangga maupun belanja pemerintah. Konsumsi domestik menjadi tumpuan dan membutuhkan stimulus lebih besar.

Belanja pemerintah sejauh ini hanya tumbuh 0,9% pada semester I-2023 ketika penerimaan meningkat 5,4%. 

Pada saat yang sama, untuk mengungkit laju belanja rumah tangga, masyarakat membutuhkan stimulasi untuk memastikan uang yang dibelanjakan memang tersedia. Stimulasi itu salah satunya bisa diharapkan dari penciptaan lapangan kerja berkualitas yang lebih banyak, PR besar pemerintah yang sampai saat ini masih belum menunjukkan perbaikan. 

Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 7 Juli lalu, menunjukkan, lapangan kerja di Indonesia masih didominasi oleh pekerjaan informal dengan persentase mencapai 60,12% dibandingkan pekerjaan formal yang hanya 39,88%. Bila dibandingkan pada 2022, kualitas lapangan kerja di Indonesia tahun ini lebih buruk menilik pada tahun lalu persentasenya masih di angka 40,03% di pekerjaan formal dibandingkan 59,97% informal.

Terus dominannya lapangan kerja informal akan berdampak pada daya beli masyarakat karena tingkat pendapatan di lapangan kerja informal relatif lebih rendah dibanding pekerjaan formal. Bila tingkat pendapatan tidak mampu mencatat perbaikan, harapan pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan belanja rumah tangga juga sulit dipenuhi.

Omnibus Law Tidak Berdampak?

Pemerintah RI di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo mengklaim telah mengantisipasi pemburukan tahun ini melalui upaya meloloskan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang sempat memantik kontroversi luas tahun lalu karena dianggap ditidak berpihak pada para buruh pekerja.

Undang-undang itu diharapkan bisa membantu dunia usaha lebih leluasa berekspansi, menarik lebih banyak investasi asing masuk ke dalam negeri dan pada akhirnya diharapkan dapat merangsang pembukaan lapangan kerja yang lebih luas.

Pembukaan lapangan kerja berkualitas masih lemah dan bisa mengancam pertumbuhan konsumsi domestik (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Namun, sejauh ini, harapan itu sepertinya masih belum terpenuhi setidaknya bila membaca data ketenagakerjaan yang dirilis oleh BPS. Sebagaimana diketahui, BPS merilis data ketenagakerjaan setiap Februari dan Agustus. Pada Agustus 2019, ketika Omnibus Law belum dirilis, tingkat pengangguran di Indonesia adalah sebesar 5,23% atau setara 7,10 juta orang.

Angkanya justru terus meningkat selama 2020-2023, di mana sempat mencapai 9,1 juta orang pada 2021, terutama karena dampak pandemi Covid-19. Kini, angkanya sudah melandai lagi menjadi 7,98 juta orang pada Februari 2023.

Hanya saja, jumlah pengangguran itu masih lebih buruk dibandingkan Februari 2019 sebesar 6,89 juta yang merupakan level terendah setidaknya sejak 2011.

Upah pekerja juga tidak bergerak. Pada 2019, rata-rata upah pekerja dari 17 sektor usaha di Indonesia adalah Rp2,91 juta per bulan. Pada 2023, angkanya masih stagnan di Rp2,94 juta. 

(rui)

No more pages