Logo Bloomberg Technoz

Luhut menambahkan Australia akan diuntungkan jika ikut berinvestasi dalam proyek pengembangan ekosistem baterai listrik di Indonesia, lantaran biaya produksi di Tanah Air lebih murah dibandingkan dengan di Negeri Kanguru.

Cost di Australia kan bisa empat kali lebih mahal dari kita. Kalau processing mobil listrik misalnya A to A, di Indonesia cost-nya pasti lebih turun,” jelasnya.

Ambisi Kendaraan Listrik

Di tempat terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif juga mengatakan kerja sama dengan Australia diharapkan akan menguntungkan Indonesia dalam upaya mengakselerasi industri kendaraan listrik. 

Dia pun tidak menutup kemungkinan adanya peluang ‘barter’ antara nikel Indonesia dan litium Australia untuk bahan baku baterai listrik. Seperti diketahui, RI merupakan produsen nikel terbesar dunia, sedangkan Australia merupakan raksasa litium.

“Bisa itu [barter]. Bisa juga polanya kerja sama. Tergantung kebutuhan. Bisnis kan harus saling menguntungkan. Siapa yang mau berbisnis rugi?” tuturnya.

Arifin mengatakan sumber litium dari Australia sangat dibutuhkan Indonesia mengingat litium merupakan elektrolit, yang merupakan bagian penting dari komponen baterai kendaraan listrik.

“Kita punya nikel, kobalt, dan kita juga punya mangan. Itu bahan dasar penting selain tembaga. Sebagian besar kita punya. Sebagian besar kita ada. [Litium] kita enggak mau, dan [Australia] mau kerja sama, nah ini kita upayakan supaya bisa ‘dijodohkan’,” katanya. 

Tren investasi pabrik baterai EV global. (Sumber: Bloomberg)


Dalam pernyataan bersama antara Jokowi dan Albanese, Selasa (5/7/2023), kedua kepala negara secara spesifik menggarisbawahi tentang upaya Indonesia mengembangkan produksi kendaraan listrik dan baterai di dalam negeri.

Jokowi pun meminta bantuan Australia untuk mewujudkan misi Indonesia menjadi hub manufaktur kendaraan listrik dan baterai global. Pada 2025, setidaknya 20% atau 400.000 unit dari total mobil yang diproduksi di Indonesia adalah kendaraan listrik.

Indonesia juga menargetkan menjadi lima besar produsen baterai kendaraan listrik dunia pada 2040. Untuk mencapainya, Indonesia perlu mengamankan akses ke mineral lain, termasuk litium. 

(wdh)

No more pages