Terkait dengan kemungkinan perbedaan persepsi kode HS produk nikel antara Indonesia dan China, Plt Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Muhammad Wafid menjelaskan Pemerintah China kemungkinan menghitung kandungan nikel dalam produk turunannya dan mencatatkan sebagai impor nikel secara keseluruhan, termasuk di dalamnya bijih nikel.
"Jadi umpamanya begini, kita memperbolehkan ekspor besi. Dalam besi konsentrat itu masih ada [kandungan] nikel yang taruhlah di bawah 2% atau 1% malah. Bagi kita itu tidak masalah, tetapi di sana dihitung sebagai nikel," tuturnya, awal pekan ini.
Sebelumnya, Ketua Satgas Koordinasi Supervisi Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dian Patria membeberkan adanya temuan selisih nilai ekspor bijih atau ore nikel ilegal ke China sebesar Rp14,5 triliun.
Angka ini didapatkan saat KPK membandingkan data ekspor bijih nikel di Badan Pusat Statistik (BPS) dengan data di laman Bea Cukai China, pada periode Januari 2020 hingga Juni 2022.
Hal ini merujuk pada data pemerintah China yang mengimpor bijih nikel sebanyak 5,3 juta ton selama periode tersebut. Menurut data tersebut, Indonesia mengekspor bijih nikel 3,39 juta ton pada 2020; 839.100 ton pada 2021; dan 1,08 juta ton pada 2022.
Berdasarkan data tersebut, KPK menemukan selisih nilai ekspor pada 2020 senilai Rp8,6 triliun; 2021 senilai Rp2,7 triliun; dan Rp3,1 triliun pada periode Januari—Juni 2022.
Seluruh transaksi ini ilegal karena pemerintah telah melarang ekspor ore nikel sejak, Januari 2020.
(wdh)