Faktor ketiga juga tak kalah mendasar yakni jaringan pengisian ulang baterai EV belum tersebar seperti stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
"Kami pikir EV di Indonesia masih tetap menjadi produk yang sangat spesifik bagi kalangan konsumen tertentu. Sehingga EV bukan ancaman bagi ASII untuk jangka pendek menurut kami," jelas Hadi.
Justru, ASII diuntungkan dengan transisi kendaraan bermotor konvensional ke listrik karena selama transisi ini, kendaraan berbahan bakar hybrid lebih diminati ketimbang EV.
Mempertimbangkan perkiraan tersebut, Hadi memperkirakan ASII masih mampu mencatat penjualan Rp296,93 triliun tahun ini. Angkanya diperkirakan naik 2,77% menjadi Rp305,17 triliun pada 2025.
Kalau pun ada penurunan laba bersih, menurut Hadi, ini lebih karena laporan keuangan ASII terseret kinerja keuangan anak usahanya, PT United Tractors Tbk (UNTR). Terlebih, tren tingginya harga komoditas yang berimbas pada tingginya permintaan alat berat dari UNTR sudah berakhir.
"Kami memperkirakan, puncak efek penurunan kinerja keuangan UNTR terhadap laporan keuangan ASII terjadi di tahun depan," kata Hadi.
"Pada saat yang sama, kami memperkirakan kontribusi segmen bisnis otomotif dan keuangan ASII akan menyentuh angka tertingginya selama delapan tahun terakhir, sebesar 57%, pada 2024. Hasilnya akan terlihat pada keuntungan periode 2025," sambungnya.
Tahun ini, dia memperkirakan ASII memperoleh laba bersih Rp29,22 triliun. Angkanya diperkirakan turun menjadi Rp27,93 triliun untuk kemudian kembali meningkat jadi Rp29,09 triliun.
Hadi mempertahankan rekomendasi ADD saham ASII dengan target harga Rp7.925/saham. Harga ASII saat ini ada di level Rp6.825/saham.
Sementara itu JP Morgan saat ini tengah mengambil sikap netral terhadap saham ASII. Namun target harganya sedikit dinaikkan menjadi Rp7.050/saham. Rekomendasi ini mempertimbangkan harga saham ASII yang sudah berada pada fair value.
(dhf/ezr)