Logo Bloomberg Technoz

Saat ini Indonesia menjadi produsen nikel nomor wahid dunia. Menyitir data Badan Survei Geologi AS atau US Geological Survey, output nikel RI per 2022 menembus 1,6 juta ton. Realisasi tersebut jauh mengalahkan Filipina (0,33 juta ton), Rusia (0,22 juta ton), Kaledonia Baru (0,19 juta ton), dan Australia (0,16 juta ton).

Produksi nikel Indonesia cenderung mengalami lonjakan dari tahun ke tahun. Pada 2021 realisasinya mencapai 1,04 juta ton, 2020 sebanyak 0,77 juta ton, 2019 sejumlah 0,83 juta ton, 2018 sebesar 0,6  juta  ton, 2017 sebanyak 0,34 juta ton, 2016 sejumlah 0,16 juta ton, dan 2015 sebesar 0,13 juta ton.

Lebih lanjut, dia sepakat dengan berbagai proyeksi institusi global bahwa logam penting –untuk bahan baku baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV), panel surya, dan turbin angin– akan mengalami defisit atau shortfall suplai dalam beberapa tahun ke depan.

Logam penting yang dimaksud tidak hanya nikel, tetapi juga aluminium, tembaga, timah, hingga kobalt yang seluruhnya merupakan komoditas-komoditas mineral logam yang menjadi andalan produksi Indonesia.

“Jadi pada 2030, kalau kita lihat secara global, seiring dengan pengembangan ekosistem EV secara besar-besaran, kita akan mengalami kekurangan suplai; khususnya untuk nikel. Sebenarnya itu sudah dimulai dari 2021, tetapi baru makin terlihat sekarang,” jelasnya.

Kebutuhan tambang logam penting di dunia./Sumber: McKinsey, diolah Bloomberg


Produksi Bisa Ditingkatkan

Menghadapi risiko defisit tersebut, Rizal mengatakan Indonesia sebenarnya masih berpeluang memacu produksi nikel kelas 1 dan 2. Hal itu terbantu dengan program penghiliran ekstensif dari pemerintah beberapa tahun terakhir.

“Kalau nikel kelas 2, feronikel [FeNi] dan nickel pig iron [NPI], sudah cukup banyak smelter-nya yang dibangun. Nikel kelas 2 ini digunakan untuk baja nirkarat, suplai kiita sudah cukup banyak memang. Tinggal bagaimana pemerintah mengembangkan industri produk turunannya. Dan lagi, supaya ini bisa dimanfaatkan untuk nilai tambah di dalam negeri. Kalau seperti sekarang –diproduksi lalu diekspor ke China– ya kita akan ketinggalan.”

Untuk nikel kelas 1 yang digunakan sebagai bahan baku baterai EV, Rizal menjelaskan saat ini Indonesia baru memiliki empat fasilitas pemurnian atau smelter.

“Ini pun sekarang masih diekspor, karena sekarang kita belum siap industri dalam negerinya untuk menghasilkan baterai EV. Ini yang sedang dikembangkan pemerintah. Mudah-mudahan bisa jadi, supaya kita bisa penuhi pasar dalam negeri. Kalau tidak, kita akan rugi karena semua dikirim ke luar negeri. Jadi yang mendapatkan nilai tambah justru negara-negara yang mengimpor produk intermediate kita,” tegasnya.

Taksasi harga komoditas mineral logam. (Sumber: S&P Global)

McKinsey & Co. menambah panjang daftar instansi yang memperingatkan dunia bahwa komoditas logam yang dianggap penting sebagai kunci transisi energi bersih akan menghadapi defisit suplai dalam beberapa tahun mendatang.

Dalam laporan yang dilansir Rabu (5/7/2023), McKinsey memaparkan tekornya pasokan logam juga berisiko memperlambat upaya dekarbonisasi global seiring dengan naiknya biaya rantai pasok. Akibatnya, harga produk rendah karbon juga akan makin mahal.

Chief Executive Officer Trafigura Jeremy Weir dan BloombergNEF sebelumnya telah menyatakan keprihatinan serupa.

Nikel, yang diperlukan untuk baterai litium-ion yang menggerakkan kendaraan listrik, diperkirakan menghadapi kekurangan pasok sekitar 10% hingga 20% pada 2030.

Disprosium, elemen tanah jarang yang biasa digunakan dalam motor listrik, juga mungkin mengalami defisit hingga 70%, kata McKinsey. Pasokan tembaga, litium, kobalt, iridium, dan timah juga berisiko menciut.

Menurut laporan tersebut, kekurangan bahan mineral logam akan menghasilkan tambahan setara dengan 400 juta—600 juta ton emisi gas rumah kaca pada 2030. Jumlah ini akan menghancurkan rencana internasional untuk menekan suhu global, sebagaimana diatur dalam Paris Agreement.

Guna mengantisipasi risiko-risiko tersebut, McKinsey merekomendasikan peningkatan investasi dalam pertambangan, pemurnian, dan peleburan menjadi antara US$3 triliun dan US$4 triliun pada 2030. Nilai tersebut setara dengan peningkatan tahunan sebesar 50% dibandingkan dengan dekade sebelumnya.

(wdh)

No more pages