Nilai tukar rupiah terjatuh ke titik rendah sejak Mei lalu menyusul penegasan Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat yang memastikan akan kembali ke jalur pengetatan moneter di sisa tahun ini dengan mengerek bunga acuan hingga 2 kali lagi.
Selama Juni, rupiah bergerak di kisaran Rp14.930/US$ dengan titik terlemah terjadi pada 26 Juni lalu di posisi Rp15.015/US$. Otot rupiah pada Juni sedikit lebih kuat dibanding Mei ketika mata uang Indonesia kehilangan 2% keuntungan dalam sebulan.
Bertahannya rupiah selama Juni didukung oleh net inflow yang masih berlangsung di pasar surat utang dengan nilai lebih tinggi mencapai US$ 1,17 miliar dibanding bulan sebelumnya sebesar US$ 450 juta.
Meski di pasar saham, pemodal asing tercatat mencetak posisi jual bersih selama Juni sebesar US$ 290 juta dari capaian beli bersih pada bulan sebelumnya yang mencapai US$ 110 juta. Posisi kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) kini mencapai Rp844,92 triliun per 5 Juli 2023.
Tekanan pada nilai cadangan devisa kemungkinan masih akan terus berlanjut dengan sinyal lebih kuat dari the Fed untuk mengerek bunga acuan lebih lanjut sebanyak dua kali 25 bps hingga ke level 5,75%. Bahkan di pasar berjangka, para pemodal global mulai berekspektasi akan ada kenaikan bunga acuan the Fed ketiga kali di sisa tahun ini dengan probabilitas 10%, ekspektasi yang sebulan lalu tidak terpikirkan sama sekali oleh pelaku pasar.
Meningkatnya ketidakpastian pasar global akibat bunga acuan itu bisa menaikkan risiko pembalikan modal asing keluar dari pasar domestik. Menambah tekanan pada transaksi berjalan di tengah terus turunnya ekspor akibat pelemahan permintaan global dan penurunan harga komoditas.
Walaupun sejauh ini Indonesia memang masih diuntungkan dengan capaian pengendalian inflasi yang menunjukkan keberhasilan dengan inflasi Juni semakin melandai di 3,52%. Inflasi yang rendah membantu menjaga selisih keuntungan riil tetap menarik di mana itu diharapkan bisa mempertahankan daya tarik aset rupiah.
"Transaksi berjalan tahun ini akan bergerak defisit di kisaran 0,65% dengan defisit yang diproyeksikan tetap terkelola karena lebih rendah dari batas 3% dari ambang batas Produk Domestik Bruto (PDB), itu menunjukkan transaksi berjalan Indonesia masih dalam kondisi kuat," kata ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman dalam catatan setelah rilis data cadangan devisa, Jumat siang (7/7/2023).
Menunggu dukungan lebih
Cadangan devisa Indonesia membutuhkan dukungan lebih kuat di sisa tahun ini di tengah gejolak global yang semakin tinggi. Bila mengacu pada pola musiman, permintaan valas di bulan-bulan mendatang kemungkinan sudah mulai mereda, tidak setinggi Mei-Juni yang secara historis memang sangat tinggi.
Di saat yang sama, cadangan devisa juga bisa berharap dari upaya pemerintah menggalakkan hilirisasi dengan berbagai insentif, di mana itu diharapkan dapat memicu arus masuk investasi asing langsung (foreign direct investment).
Daya tahan cadev dan nilai tukar rupiah juga akan sangat mengharapkan dukungan dari upaya BI menarik lebih banyak valas ke dalam negeri melalui lelang TD valas devisa hasil ekspor, yang sejauh ini masih sangat sedikit berkontribusi pada suplai valas di pasar.
Sebagai perbandingan, sejak diberlakukan Maret lalu, gelar lelang TD valas DHE baru mampu menarik valas kurang dari US$ 2 miliar. Nilai itu masih sangat kecil dibandingkan nilai ekspor RI yang mencapai US$ 21 miliar per bulan, juga hanya sepertiga dari nilai transaksi valas perbankan yang bisa US$ 6 miliar per hari.
Analis memperkirakan dengan tekanan dan lanskap pasar global selama semester II-2023, posisi cadangan devisa RI pada akhir tahun ini berpotensi tergerus ke batas bawah US$ 135 miliar, lebih rendah dibanding posisi akhir 2022 sebesar US$ 137,2 miliar. "Perkiraan nilai tukar rupiah pada akhir tahun ini bisa di kisaran Rp14.864/US$ dibandingkan Rp15.568/US$," kata Faisal.
(rui)