Studi Badan Energi Atom Internasional I(IAEA) menyatakan bahwa rencana Tokyo Electric Power Co. membuang air limbah, yang volumenya setara dengan sekitar 500 kolam renang ukuran Olimpiade, itu akan memiliki dampak radiologis yang kecil pada manusia dan lingkungan.
Meski sudah ada hasil kajian IAEA tersebut para pejabat di China dan Hong Kong, yang keduanya merupakan importir terbesar barang-barang Jepang, menegaskan kembali kekhawatiran akan rencana itu.
“Kami telah berulang kali menyatakan keprihatinan serius tentang dampak rencana pembuangan terhadap keamanan pangan," bunyi pernyataan tertulis pemerintah China yang dirilis Selasa (04/07).
Hong Kong juga mengumumkan rencana untuk memberlakukan beberapa pembatasan pada makanan laut dari daerah berisiko tinggi setelah pelepasan limbah Fukushima itu dilakukan .
Meskipun ada pembatasan pada beberapa produk makanan setelah krisis Fukushima pada 2011, yang merupakan bencana nuklir terburuk sejak Chernobyl, ekspor pertanian dan makanan laut Jepang naik ke rekor tertinggi tahun lalu.
Pembelian dari China mencapai 278,3 miliar yen (Rp 29 triliun), dan sepertiga diantaranya adalah makanan laut.
Kalangan masyarakat dan beberapa anggota parlemen oposisi di Korsel melakukan aksi unjuk rasa yang menentang rencana Jepang tersebut.
Park Koo-yeon, seorang pejabat di Kantor Koordinasi Kebijakan Pemerintah pada Rabu mengatakan Korsel sedang melakukan kajian tersendiri atas keamanan proposal Jepang itu.
Di China, aksi boikot konsumen terhadap kosmetik Jepang itu telah berdampak pada harga saham perusahaan-perusahaan seperti Shiseido Co.
China telah mendesak Jepang untuk menghentikan rencana itu dan mengklaim ada perbedaan antara proposal mereka itu dengan pembuangan air limbah secara rutin dari pembangkit nuklirnya dan yang lainnya secara global.
Kementerian Ekologi dan Lingkungan China dalam pernyataan hari Rabu mendesak Jepang untuk menyusun strategi alternatif.
Harian Yomiuri Shimbun melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa Hayashi akan bertemu dengan mitranya dari China dan Korsel bulan ini dalam upaya mendapatkan dukungan atas rencana itu.
Direktur Jenderal IAEA Rafael Grossi dijadwalkan mengadakan pembicaraan dengan para pejabat Korsel mulai Jumat ini
--Dengan asistensi Isabel Reynolds, Naoto Hosoda, dan Sangmi Cha.
(bbn)