Adapun, produk-produk yang tengah diselidiki perpanjangan BMTP-nya memiliki kode HS atau pos tarif a.l. 4813.20.21, 4813.20.23, 4813.20.31, ex4813.20.32, 4813.90.11, ex4813.90.19, 4813.90.91, dan ex4813.90.99 sesuai dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) Tahun 2022.
“Penyelidikan ini merupakan tindak lanjut dari permohonan APKI yang mewakili PT Bukit Muria Jaya. Permohonan tersebut disampaikan pada 29 Mei 2023,” papar Mardjoko melalui keterangan resmi, Rabu (5/7/2023).
Sayangnya, Kemendag tidak mendetailkan nilai kerugian yang diderita perusahaan yang berbasis di Karawang, Jawa Barat itu.
Namun, Mardjoko mengungkapkan dari bukti bukti awal yang disampaikan APKI, KPPI menemukan fakta adanya kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang dialami oleh pemohon. Kerugian tersebut tecermin dari beberapa indikator kinerja industri dalam negeri yang memburuk selama periode 2020—2022.
“Kerugian tersebut, antara lain terjadinya tren kerugian finansial yang diakibatkan dari menurunnya penjualan domestik dan berkurangnya jumlah tenaga kerja. Selain itu, pangsa pasar pemohon di pasar domestik juga mengalami penurunan dan pemohon masih membutuhkan tambahan waktu untuk menyelesaikan program penyesuaian struktural secara optimal,” jelasnya.
Menyitir data Badan Pusat Statistik (BPS), impor produk kertas sigaret dan kertas plug wrap nonporous memang tercatat terus naik selama tiga tahun terakhir hingga 2022. Rerata kenaikan impornya per tahun mencapai 26,11%.
Pada 2022, impor Indonesia untuk produk tersebut tercatat sebesar 12.558 ton, naik 11,07% dibandingkan dengan 2021 yang tercatat 11.215 ton. Pada 2021, impor produk ini mengalami kenaikan signifikan sebesar 42,03% dari 2020 yang tercatat sebesar 7.896 ton.
Adapun, asal impor produk-produk tersebut adalah Vietnam (dengan pangsa 50%), Austria (19%), dan China (18%), Spanyol (7%), dan Korea Selatan (4%).
Bukan Pertama Kali
Indonesia bukan pertama kalinya bersinggungan dengan isu kebijakan pengamanan perdagangan atau trade remedies di industri kertas pada tahun ini. Selain sebagai negara yang menerapkan bea masuk tambahan, Indonesia juga menjadi negara yang diganjar tarif serupa oleh negara lain, dalam kaitannya dengan produk kertas.
Belum lama ini, produk kertas A4 asal Indonesia baru saja terbebas dari jerat bea masuk antidumping (BMAD) di Australia, setelah industri domestik di Negeri Kanguru justru mengalami gangguan suplai bahan baku yang berimbas pada terhentinya produksi kertas.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso mengatakan Australia sebelumnya menjerat produk kertas A4 asal Indonesia hingga 2027.
“Namun, pada perkembangannya industri dalam negeri Australia justru mengalami masalah suplai bahan baku sehingga menghentikan secara keseluruhan produksi kertas putih untuk dipasok dalam pasar domestiknya,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Kemendag, ekspor kertas A4 Indonesia ke Australia mencapai US$8,20 juta pada 2022. Realisasi tersebut turun dari 2017 yang bernilai US$19,72 juta, dan kian anjlok setelah negara tersebut menerapkan BMAD.
Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Natan Kambuno menjelaskan pengenaan BMAD terhadap produk kertas tersebut tidak sesuai dengan GATT 1994 dan ketentuan WTO lainnya, khususnya Agreement on Anti-Dumping (ADA)
Menurut Natan, akses pasar produk kertas A4 yang berkualitas merupakan faktor penting yang mengindikasikan bahwa penduduk Australia memerlukan ketersediaan produk dimaksud di pasar Australia. Dengan kata lain, dikenakannya BMAD akan membuat penduduk Australia kehilangan akses terhadap kertas A4 yang banyak diperlukan.
Nilai perdagangan Indonesia-Australia pada periode Januari—Februari 2023 mencapai US$1,71 miliar, berdasarkan data BPS. Realisasi tersebut naik dari periode yang sama tahun lalu senilai US$1,68 miliar.
Total perdagangan kedua negara meningkat dalam beberapa tahun terakhir yaitu 2022 senilai US$13,33 miliar, 2021 US$12,65 miliar, serta 2020 US$7,15 miliar.
(wdh)