Sampai Mei, posisi utang pemerintah berada di angka Rp 7.787,51 triliun. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) adalah 37,85 persen.
APBN Surplus, Utang Malah Nambah
Namun di sisi lain, pemerintah ternyata masih terus menambah utang meski APBN surplus. Pembiayaan utang per akhir Mei 2023 adalah Rp 150,4 triliun, naik 64,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Artinya, utang sudah ditarik tetapi belum termanfaatkan. Padahal pemerintah harus membayar kupon (untuk obligasi) dan bunga (untuk pinjaman).
Pagu pembayaran bunga utang dalam APBN 2023 adalah Rp 441,4 triliun. Naik dibandingkan tahun lalu yang Rp 386,3 triliun.
Selain itu, APBN sulit menjadi motor pertumbuhan ekonomi jika belanja tidak terserap optimal. Hingga semester I-2023, belanja negara hanya tumbuh 0,9% sementara penerimaan naik 5,4%.
“Arah pembangunan Indonesia sudah luar biasa dalam 20 tahun terakhir, didukung oleh stabilitas makro ekonomi dan manajemen fiskal yang pruden. Namun Indonesia masih menghadapi kekurangan sumber daya manusia dan infrastruktur yang menghambat daya saing, Indonesia perlu untuk memperbesar ruang fiskal serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja negara di berbagai sektor,” papar laporan Bank Dunia berjudul Indonesia Public Expenditure Review: Spending for Better Results.
Bank Dunia mencontohkan satu bentuk belanja yang tidak efektif dan tidak efisien yaitu jalan nasional. Anggaran untuk jalan nasional memang meningkat, tetapi sebagian besar adalah untuk pemeliharaan, bukan jalan baru. Selain itu, hasil yang lebih baik juga kurang terlihat.
“Belanja pemeliharaan jalan naik dari 37% total anggaran jalan nasional pada 2015 menjadi 49% pada 2017. Ini sebagian besar karena perawatan yang lebih mahal.
“Akan tetapi, kualitas jalan dan usia pakai tidak meningkat signifikan. Artinya, butuh penelusuran lebih lanjut untuk menjustifikasi peningkatan anggaran tersebut,” tegas laporan Bank Dunia.
Kemudian, Bank Dunia juga menyoroti program pembangunan rumah bersubsidi. Bank Dunia mencatat 52% rumah bersubsidi dibangun di daerah pedesaan.
Plus, tidak sedikit rumah yang dibangun akhirnya kosong akibat kualitas yang buruk.
Belanja yang sudah dieksekusi saja kualitasnya dipertanyakan, apalagi kalau tidak dibelanjakan? Semakin sulit bagi APBN untuk menjadi pendorong gerak perekonomian nasional, saat komponen lain melambat.
Konsumsi rumah tangga melemah. Terbukti dari penjualan ritel yang pada Mei tumbuh 1,5% year-on-year (yoy), melambat dari bulan sebelumnya yang naik 4,9% yoy.
Ekspor juga lesu, pertumbuhannya makin lemah.
Oleh karena itu, surplus APBN juga bisa dipandang sebagai hal yang negatif. Saat konsumsi domestik dan ekspor lemah, semestinya APBN mengambil peran sebagai aktor utama pertumbuhan ekonomi. Ini sulit terwujud jika dana di APBN tidak dibelanjakan.
(aji/evs)