Sebagai gambaran, pada Januari-Mei 2019, kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 6,28 juta orang.
Analisis Bahana Sekuritas menyebut, ada pelemahan yang mencolok di Bali, destinasi wisata utama di Indonesia yang menyumbang 60% total kedatangan turis asing. Pelemahan itu terlihat dari tingkat hunian hotel dan lama kunjungan turis asing.
"Di Bali, tingkat hunian hotel bintang 1 naik akan tetapi di hotel bintang 5 turun. Ini berkebalikan dari masa prapandemi di mana hotel mewah bintang 5 dan bintang 4 di Bali memiliki tingkat hunian tertinggi dibandingkan akomodasi kelas budget dan backpacker," tulis analis Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Drewya dalam catatan, dikutip Rabu (5/7/2023).
Okupansi hotel bintang lima di Bali pada Januari-Mei turun 40%, sementara hotel bintang satu mencatat kenaikan 48%. Pada saat yang sama, rata-rata kunjungan turis asing di Bali juga belum mampu kembali ke masa prapandemi. BPS mencatat, kunjungan turis asing di Pulau Dewata mencapai 2,4 hari per kunjungan, masih jauh di bawah prapandemi yang mencapai 3-3,2 hari per kunjungan.
"Itu menunjukkan wisatawan mancanegara telah terpengaruh oleh penurunan ekonomi global dan kenaikan inflasi, yang pada gilirannya berdampak pada kemampuan belanja mereka di luar negeri dan potensi pendapatan devisa bagi negara tuan rumah, Indonesia," jelas analis.
Untuk kasus Bali, penurunan paling signifikan adalah dari kedatangan turis Tiongkok. Jumlah kedatangan wistawan asal China sejauh ini masih jauh lebih rendah dibanding sebelum pandemi. Itu tidak terlepas dari kebijakan China yang menerapkan restriksi ketat sejak pandemi dan baru memutuskan pembukaan pada akhir 2022 lalu.
Di sisi lain, pemulihan ekonomi China yang masih tertatih-tatih juga berdampak pada tingkat belanja turis Tiongkok. Sebelum pandemi, turis asal China bisa menghabiskan US$1.386 per kunjungan ke Indonesia pada 2018, sedikit lebih besar dibandingkan pengeluaran turis Asia lain dari Jepang (US$1.349), Singapura (US$1.049,22) dan Malaysia (US$843).
Kebijakan Bebas Visa Berakhir
Sektor pariwisata sejatinya bisa menjadi andalan baru Indonesia di tengah berakhirnya rezeki runtuh booming komoditas yang berhasil menopang neraca dagang sejak 2022 lalu. Dengan tingkat permintaan global yang masih lesu, upaya menarik devisa dari sektor pariwisata seharusnya bisa dimaksimalkan memanfaatkan kepenatan masyarakat dunia yang terbatasi pergerakannya selama pandemi.
Itu yang dilakukan oleh Singapura juga Thailand dengan agresif memanfaatkan euforia masyarakat global terhadap hiburan dan pertunjukan. Singapura berhasil menarik para performer kelas dunia seperti Coldplay dan Taylor Swift untuk menggelar konser di negeri kecil itu hingga enam hari berturut-turut.
Upaya Singapura dipastikan untuk menarik devisa dari penggemar band dan penyanyi Amerika tersebut dari negara-negara tetangga termasuk Indonesia.
Thailand juga tak mau kalah dengan berhasil meyakinkan Coldplay menggelar konser dua hari di sana, memberi peluang bagi kedatangan turis asing dari Asia yang belum memiliki kesempatan menonton di negerinya sendiri.
Di saat yang sama, Indonesia terlihat belum berhasil mengoptimalkan hype dan euforia masyarakat yang haus hiburan pascapandemi. Meski Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif mengklaim telah melakukan berbagai upaya dan insentif agar bisnis hiburan dan pertunjukan semakin bersemangat menggelar event, sejauh ini hal tersebut masih belum menuai hasil signifikan.
Coldplay hanya tampil sehari di Indonesia dan Taylor Swift enggan mampir menggelar konser di negeri ini.
Bahkan, Indonesia justru mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dikhawatirkan bisa memperberat stabilitas transaksi berjalan dan pada akhirnya menghantui nilai tukar rupiah. Salah satunya adalah pencabutan kebijakan bebas visa bagi 159 negara yang efektif diberlakukan Juni lalu. Kebijakan itu dicemaskan bisa memperlebar defisit neraca dagang jasa Indonesia dan pada akhirnya bisa menyeret rupiah.
Pada kuartal I-2023 lalu, defisit neraca perdagangan jasa Indonesia tercatat sebesar US$ 4,6 miliar, sedikit lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya US$ 5,5 miliar. Namun lebih dalam dibandingkan kuartal I-2022 sebesar US$ 4,4 miliar, menurut laporan Bank Indonesia.
Penurunan defisit secara kuartalan itu, menurut bank sentral ditopang oleh kinerja jasa perjalanan (travel) yang terus menguat seiring dengan mobilitas yang meningkat dan dampak positif dari pembukaan ekonomi Tiongkok sehingga mendorong kenaikan kunjungan wisatawan mancanegara.
Namun, kini dengan penghentian visa bebas kunjungan, ada potensi penurunan kinerja yang bisa berimbas pada semakin lebarnya defisit neraca dagang jasa.
"Keputusan menghentikan bebas visa kecuali untuk ASEAN tersebut akan memperlebar defisit neraca dagang jasa Indonesia, yang selanjutnya bermuara pada kenaikan defisit neraca berjalan. Situasi ini bisa membuat volatilitas pergerakan USD/IDR semakin berkepanjangan," komentar Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas.
(rui/aji)