“Jadi yang harus dikejar sekarang adalah pembeli gasnya. PJBG-nya. Kalau tidak ada pembeli gasnya, ya [Blok Masela] tidak akan dikembangkan. Itu yang paling penting karena regulasi di hulu migas seperti itu. Kalau tidak, nanti diperpanjang terus [PoD-nya], enggak akan pernah dikembangkan karena enggak ada pembeli gasnya. Siapa yang mau kembaliin investasinya?” ujarnya saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, Selasa (4/7/2023).
Dia pun menggarisbawahi eksplorasi Blok Masela –sebagaimana di wilayah kerja migas lainnya– masih mengacu pada UU Migas yang berlaku. Dengan demikian, pemerintah sebenarnya berhak untuk langsung mengambil alih blok tersebut setelah ‘dicampakkan’ oleh Shell.
“Kalau pemerintah pakai UU, bisa juga terminasi [PI milik Shell]. Namun, tetap saja, ujung-ujungnya harus mencari pembeli [gas dari Masela]. Siapapun yang ambil alih kelolanya, kalau tidak ada pembeli, ya tidak ada [pengembangan]. Misal terminasi, lalu [PI] dikasih ke Pertamina. Kalau Pertamina tidak [mendapatkan calon] pembeli [gasnya], ya [Blok Masela] tidak bisa dikembangkan juga,” tegasnya.
Untuk itu, dia menyarankan agar Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dapat menunjuk calon pembeli gas Blok Masela dari unsur pemerintah –yang dalam hal ini BUMN– sedangkan pemegang PI dapat mengejar kontraktor atau calon pembeli lainnya.
“Jadi dua-duanya kita kejar dalam bentuk PJBG,” ujarnya.
Terkait dengan alih kelola Blok Masela dari Shell ke PT Pertamina (Persero), Djoko mengaku tidak tahu persis berapa nilai akuisisi PI yang disepakati kedua belah pihak. “Saya juga tidak tahu itu. Siapa tahu tidak ada harga [gratis], kan lebih mantap,” tuturnya.
Calon Pembeli BUMN
Di sisi lain, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebelumnya mengungkapkan 40% LNG yang dihasilkan dari Lapangan Abadi Blok Masela akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Terkait dengan hal itu, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyebut sudah mengantongi beberapa nama calon pembeli LNG yang dihasilkan dari ladang gas di Kepulauan Tanimbar, Maluku itu. Beberapa di antaranya bahkan sudah menandatangani nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) PJBG.
“Kalau PJBG sudah ada MoU, dari dalam negeri kira-kira 40%. Sudah diambil PT PLN [PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)], PT Pupuk Indonesia [Persero], PT PGN [PT Perusahaan Gas Negara Tbk.], dan ada juga dari Jepang kalau yang luar negeri,” katanya ketika ditemui di Kompleks Parlemen, Selasa (13/6/2023).
Dwi berharap adanya kepastian calon pembeli akan memicu stimulus bagi penentu kelanjutan proyek pengembangan Lapangan Abadi Blok Masela. Dia optimistis calon pembeli LNG yang dihasilkan oleh ladang gas tersebut akan terus bertambah, khususnya dari luar negeri.
“Market LNG sekarang cukup bagus. Kan yang terserap dari dalam negeri sudah 40%. Sementara itu, 60% pembeli lainnya dari luar negeri. Market LNG bagus karena LNG ini jadi [sumber] energi transisi. Berbeda dengan tahun-tahun lalu,” katanya.
Sebagai catatan, puncak produksi gas yang dihasilkan dari ladang gas tersebut diperkirakan mencapai 9,5 juta ton per tahun (MTPA) dan 150 juta standar kaki kubik per hari (MMscfd).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif bulan lalu juga menyatakan beberapa pelaku industri di dalam negeri sudah menyatakan minatnya untuk menyerap gas yang diproduksi oleh Blok Masela.
“Sudah ada PJBG, paling enggak ada MoU. Sudah ada komitmen untuk offtake, selain domestik juga ada beberapa [dari luar negeri]. Kami prioritaskan untuk memenuhi kebutuhan domestik,” katanya ketika ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jumat (14/6/2023).
(wdh)