Logo Bloomberg Technoz

Aksi protes terjadi setidaknya setiap minggu sejak Januari lalu ketika koalisi religius sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengumumkan rencana komprehensif untuk melakukan perombakan peradilan.

Aksi protes ini dilakukan karena dugaan pemerintah ingin menjadi otoriter. Namun, demonstrasi mulai berkurang setelah Netanyahu menunda rencana tersebut dan membuka kemungkinan negosiasi.

Perundingan itu baru-baru ini dihentikan dan pemerintah memperkenalkan satu elemen kunci ke dalam proses legislatif--menghilangkan kuasa hakim untuk membatalkan janji atau putusan yang dianggap "tidak masuk akal".

Kombinasi dari diskusi yang gagal dan upaya menghidupkan kembali undang-undang itu akhirnya menyulut aksi protes lagi.

"Hari penuh kekacauan" akibat aksi para demonstran terakhir kali terjadi pada 4 Mei lalu. Kini, aksi seperti itu kembali terjadi.

Pada Senin (3/7/2023) ratusan pengunjuk rasa sempat memblokir gerbang ke pelabuhan Haifa. Dan diperkirakan kekacauan seperti itu akan lebih banyak terjadi. 

Ratusan tentara cadangan--petugas medis, perwira intelijen, prajurit tempur, dan pilot--menandatangani surat yang menyatakan bahwa mereka tidak akan merawa wajib untuk bertugas jika perubahan yudisial tersebut resmi menjadi undang-undang.

"Mengingat fakta bahwa pemerintah menjadi 'tidak sah', mereka tidak layak mendapatkan kesukarelaan dan kepatuhan kami," ujar salah satu sukarelawan di unit intelijen 8200 dalam salah satu suratnya.

Sebuah organisasi veteran yang disebut sebagai "Brothers in Arms" mengaku memiliki puluhan ribu anggota  dan merencanakan serangkaian tindakan kekacauan dalam beberapa pekan mendatang.

Kelompok ini juga memperingatkan jika undang-undang baru itu disahkan, mereka tidak akan hadir ke acara pelatihan, meskipun ada ancaman dan tindakan atas penolakan tersebut.

Pedemo anti-pemerintah melakukan aksi unjuk rasa di Tel Aviv, Israel, Senin (10/4/2023). (Kobi Wolf/Bloomberg)

Keretakan yang Tak Bisa Diperbaiki

Dengan kemungkinan perbedaan pendapat yang meluas di jajaran militer, dikombinasikan dengan meningkatnya ancaman dari milisi yang didukung Iran seperti Hamas dan Hizbullah, membuat Netanyahu menghentikan proses perombakan yudisial tiga bulan lalu. Saat itu, Menteri Pertahanan Yoav Gallant mengatakan keamanan nasional dalam bahaya.

Pada Senin, sekelompok veteran dari Shin Bet, badan keamanan Israel yang juga merupakan pemain kunci dalam operasi di Tepi Barat, juga memperingatkan bahwa rencana pemerintah untuk melanjutkan perombakan yudisial "akan menciptakan keretakan yang tak dapat diperbaiki dalam masyarakat Israel dan merusak kekuatan nasional serta pertahanan Israel secara fatal."

Situasi ini terjadi ketika serangan terhadap Israel  di perbatasan yang didukung Iranemakin meningkat. Dan militer Israel telah menewaskan puluhan militan Palestina dalam periode enam bulan paling berdarah dalam dua dekade terakhir.

Faktor-faktor itu tetap ada, seperti yang ditunjukkan oleh serangan pada Senin (03/07) di kamp pengungsi Jenin. Namun, ada juga tekanan yang kuat dari dalam koalisi penguasa Israel untuk mengurangi kekuatan peradilan.

Kubu Sayap kanan menganggapnya sebagai benteng kiri sekuler yang keputusan tentang hak-hak asasi manusia dan kelompok minoritas bertentangan dengan keinginan mayoritas rakyat.

Siap Berjuang

Pedemo anti-pemerintah melakukan aksi unjuk rasa di Tel Aviv, Israel, Senin (10/4/2023). (Kobi Wolf/Bloomberg)

Kehadiran kekuatan politik di pemerintah Netanyahu yang telah lama dianggap tidak sah karena anti kelompok ekstrimis Arab juga telah membangkitkan aktivisme politik di kalangan liberal sekuler. Mereka mengatakan akan bertarung untuk memperjuangkan demokrasi Israel.

"Netanyahu dan mitra ekstrimisnya ingin memaksakan kediktatoran di Israel dan menggunakan alat yang identik dengan yang baru-baru ini digunakan oleh para pemimpin Polandia dan Hongaria," tulis Shikma Bressler seorang fisikawan dan pemimpin protes di surat kabar Haaretz, Senin.

"Sejarah menunjukkan bahwa hanya perjuangan sipil tanpa kompromi yang dapat mencegah para pemimpin seperti itu mencapai tujuan mereka. Upaya kami dalam beberapa pekan mendatang kemungkinan akan kurang menyenangkan," tulisnya

Sementara pasar saham ikut menderita akibat ketidakpastian dan ketegangan di dalam negeri, sektor teknologi Israel yang kuat ikut memainkan peran kunci dalam protes terhadap perombakan yudisial itu.

Gerakan ini dibiayai besar-besaran oleh warga Israel yang bergerak di industri tersebut, dan para menteri kabinet telah bertemu dengan perusahaan-perusahaan teknologi tinggi untuk mencoba membujuk mereka berhenti mendanai protes.

Para menteri mengatakan kepada para pengusaha bahwa perombakan peradilan tak dapat dilakukan lagi.

Namun penerapan undang-undang tentang kewajaran membuat seruan tersebut diabaikan.

"Kami semua setuju," kata Erez Shachar dari Qumra Capital yang berinvestasi di perusahaan teknologi Israel saat ditanya soal protes itu. "Surat, pengumuman pers, mendukung demonstrasi, operasi khusus baik teknologi maupun umum, sangat mirip dengan aktivitas yang terjadi dua bulan lalu."

--Dengan asistensi dari Gwen Ackerman, Galit Altstein dan Alisa Odenheimer.

(bbn)

No more pages