"Itu membuat kami skeptis bahwa The Fed perlu menaikkan bunga acuan secara penuh sebesar 50 bps seperti yang ditunjukkan dalam dot plot terbaru," kata ekonom Bloomberg Economics Stuart Paul, Eliza Winger dan Jonathan Church, seperti dikutip Selasa (4/7/2023).
Para pelaku pasar masih akan menunggu data terbaru yaitu data ketenagakerjaan AS dan inflasi harga konsumen yang dirilis dua pekan ini. Data itu akan memberi panduan lebih jelas arah kenaikan FFR apakah perlu hingga 50 bps atau cukup 25 bps.
Bila kenaikan FFR hanya 25 bps sampai akhir tahun ini, nilai tukar rupiah berpeluang mempertahankan performa di kisaran saat ini tanpa tekanan lebih jauh. Sebaliknya, bila kenaikan terjadi sampai 50 bps, itu akan memberi tekanan sangat besar bagi nilai tukar rupiah.
Transaksi Berjalan
Nilai tukar rupiah yang menghadapi ancaman besar dari arah bunga acuan bank-bank sentral utama dunia, membutuhkan dukungan lebih kuat dari fundamental domestik. Transaksi berjalan (current account) RI diprediksi akan defisit pada akhir tahun ini seiring semakin turunnya nilai surplus neraca dagang menyusul berakhirnya momentum rezeki runtuh harga komoditas ekspor.
Sebagai perbandingan, pada 2022 lalu Indonesia mencatat surplus transaksi berjalan sebagian besar karena booming harga komoditas.
Namun, pesta itu sudah berakhir. Pada Mei lalu, nilai surplus neraca dagang RI anjlok signifikan menjadi US$ 440 juta dari capaian US$ 3,94 miliar pada April.
Surplus neraca dagang diperkirakan akan terus mengecil seiring lanjut melemahnya permintaan global yang mengikis harga komoditas juga terus berlanjutnya kebijakan pengetatan moneter oleh bank sentral utama dunia.
Di sisi lain, Indonesia juga merilis kebijakan-kebijakan yang dikhawatirkan bisa memperberat stabilitas transaksi berjalan. Salah satunya adalah pencabutan kebijakan bebas visa bagi 159 negara yang efektif diberlakukan Juni lalu. Kebijakan itu dicemaskan bisa memperlebar defisit neraca dagang jasa Indonesia dan pada akhirnya bisa menyeret rupiah.
Pada kuartal I-2023 lalu, defisit neraca perdagangan jasa Indonesia tercatat sebesar US$ 4,6 miliar, sedikit lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya sebesar US$ 5,5 miliar. Namun lebih dalam dibandingkan kuartal I-2022 yang sebesar US$ 4,4 miliar, menurut laporan Bank Indonesia.
Penurunan defisit secara kuartalan itu, menurut bank sentral ditopang oleh kinerja jasa perjalanan (travel) yang terus menguat seiring dengan mobilitas yang meningkat dan dampak positif dari pembukaan ekonomi Tiongkok sehingga mendorong kenaikan kunjungan wisatawan mancanegara.
Namun, kini dengan penghentian visa bebas kunjungan, ada potensi penurunan kinerja yang bisa berimbas pada semakin lebarnya defisit neraca dagang jasa.
"Keputusan menghentikan bebas visa kecuali untuk ASEAN tersebut akan memperlebar defisit neraca dagang jasa Indonesia, yang selanjutnya bermuara pada kenaikan defisit neraca berjalan. Situasi ini bisa membuat volatilitas pergerakan USD/IDR semakin berkepanjangan," komentar Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan, transaksi berjalan Indonesia kemungkinan akan mencetak defisit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 0,65% dibandingkan 1% surplus pada 2022. Pada kuartal I-2023 lalu, transaksi berjalan RI tercatat masih surplus 1,18% terhadap PDB.
Repatriasi Valas Ekspor
Bank Indonesia selaku garda depan penjaga nilai tukar akan mendapatkan ujian berat agar semester II tahun ini, rupiah bisa bertahan. Jurus tambahan bank sentral di antaranya memperbanyak pilihan tenor untuk lelang term deposit valuta asing Devisa Hasil Ekspor (DHE) sejauh ini juga belum terealisasi.
Mengacu pada publikasi terbaru, rencana lelang TD Valas DHE hari ini juga belum menyediakan tenor lebih pendek di bawah 1 bulan. BI masih menawarkan tenor 1, 3 dan 6 bulan seperti dalam lelang-lelang sebelumnya.
Sejak mulai digelar awal Maret sampai sekitar 22 Juni lalu, nilai penyerapan valas DHE dari lelang tersebut baru sekitar US$1,37 miliar. Hanya seujung kuku dari nilai ekspor Indonesia yang bisa mencapai US$21 miliar per bulan, juga masih sangat kecil dibandingkan nilai transaksi valas di bank-bank baik spot, swap maupun forward yang bisa US$ 6 miliar per hari.
Dengan lanskap yang cenderung suram, sedikit sulit berharap rupiah berbalik menguat pada semester II-2023. Posisi cadangan devisa RI akan menjadi pertaruhan di mana Mei lalu sudah terkuras hampir US$ 5 miliar meski sejauh ini dinilai masih memadai untuk membantu bank sentral menjaga nilai tukar.
Namun, keputusan BI mempertahankan bunga acuan di level 5,75% sejak Januari lalu, di tengah inflasi yang telah melandai, juga mungkin tidak lagi memadai apabila imbal hasil US Treasury terus melejit seiring kenaikan bunga The Fed karena itu akan membuka lebar risiko capital outflow.
"Yield US Treasury masih berpeluang naik ke 4,1%-4,3% dalam waktu dekat," kata Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.
Berbalik lagi menaikkan bunga acuan juga akan mengancam perekonomian domestik lebih jauh, dinilai sebagai hal yang agak sulit ditempuh terlebih jelang kedatangan Pemilu 2024. Ekonom menilai, peluang kenaikan bunga acuan BI7DRR masih terbatas terutama bila yield SUN-10 tahun terus menurun mendekati 6%.
"Selain itu, bila tingkat inflasi tetap terkelola baik dengan kisaran target pada semester II nanti, ruang kenaikan bunga BI7DRR akan terbatas," kata Faisal.
Yield SUN-10 tahun pada Selasa (4/7/2023) tercatat di level 6,204% pada pukul 14:01 WIB, menjadi level terendah setidaknya sejak November 2021.
(rui/aji)