Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo pada sebuah kesempatan membeberkan titik utama keanehan laporan keuangan PT Waskita Karya Tbk (WSKT). Perhatiannya terpusat pada laporan keuangan periode 2017 hingga 2020.
Yang menjadi catatan wakil menteri dengan sapaan akrab Tiko adalah, margin di industri konstruksi sangat tipis. Ini membuat pelaporan keuangan antara cashflow, pendapatan dan laba sering menjadi tidak saling terhubung.
"Persaingan di industri kontraktor sangat tipis yang membuat pelaporan keuangan antara cashflow dengan pendapatan dan laba sering terjadi diskoneksi. Dengan margin tipis ini, kalau ada kesalahan, bisa menjadi kerugian yang kemudian kapan dibukukan," terang Tiko.
Kembali ke kinerja keuangan WSKT. Pada periode 2017, perusahaan mencatat laba bersih Rp4,2 triliun. Kemudian pada 2018, laba bersih WSKT bahkan naik 9,5% secara tahunan menjadi Rp4,6 triliun.
Pada 2019, laba bersih WSKT merosot tajam, sebesar 77% secara tahunan menjadi Rp1,03 triliun. Bahkan, pada 2020, WSKT merugi Rp9,4 triliun.
"Artinya apa? WSKT pernah mencatat laba besar sekali, tapi sebenarnya margin (industri) tipis," kata Tiko.
Pertanyaannya, lanjut Tiko, komponen apa yang membuat laba WSKT di periode 2017 dan 2018 mencatat laba besar, tapi kemudian turun drastis hingga merugi di tahun-tahun berikutnya.
"Waskita ini core bisnisnya tol dan mulai divestasi secara bertahap. Pertanyaannya sekarang, kenapa labanya besar, apakah itu karena divestasi tol atau ada tol yang belum offload tapi diakui pendapatannya di depan?" tutur Tiko.
Tiko menambahkan, pihaknya belum bisa memberikan kesimpulan akhir penyebab 'keanehan' laporan keuangan WSKT. "Tapi kami ingin memastikan semua proyek yang dilaporkan itu benar laba atau rugi?, imbuhnya.
Cashflow Negatif
Ketika WSKT mencatat laba tinggi, lanjut Tiko, WSKT mencatat cashflow negatif. Ini juga menjadi dasar kajian laporan keuangan WSKT.
"Ini yang sedang kami kaji, laba besar tapi cashflow operasi negatif. Ini yang sedang kami kaji apa yang sedang terjadi karena (cashflow negatif) terus terjadi di tahun-tahun berikutnya," terang Tiko.
Dalam kajian, Tiko tidak mengesampingkan adanya perbedaan penafsiran aturan laporan keuangan.
"Kami memahami kadang dalam konteks kebijakan akuntansi ada celah atau intepretasi berbeda. Jadi kami tidak menafikkan ini mungkin karena perbedaan kebijakan, belum tentu ada fraud," tutur Tiko.
(rez/dhf)