Terkait dengan informasi KPK, Wafid berpendapat kemungkinan ada perbedaan persepsi dan pencatatan antara otoritas terkait di China dan Indonesia. Selain itu, kemungkinan juga ada perbedaan dalam sistem pengelompokan barang ekspor dengan kategori tertentu atau kode harmonized system (HS).
"Saya kira itu ada perbedaan kode HS atau enggak persepsi dari barang. Umpamanya, barang di Indonesia dan China itu dianggap berbeda. Kita mengganggap besi ada kandungan nikel, tetapi tidak dicatat. Di China, berapapun kandungan yang ada termasuk nikel itu masuk dalam hitungan. Ini baru kami telusuri," tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Satgas Koordinasi Supervisi Wilayah V KPK Dian Patria mengatakan ada selisih nilai ekspor bijih atau ore nikel ilegal ke China sebesar Rp14,5 triliun. Angka ini didapatkan saat KPK membandingkan data ekspor bijih nikel di Badan Pusat Statistik (BPS) dengan data di laman Bea Cukai China, pada periode Januari 2020 hingga Juni 2022.
Hal ini merujuk pada data pemerintah China yang mengimpor bijih nikel sebanyak 5,3 juta ton selama periode tersebut. Menurut data tersebut, Indonesia mengekspor bijih nikel 3,39 juta ton pada 2020; 839.100 ton pada 2021; dan 1,08 juta ton pada 2022.
Berdasarkan data tersebut, KPK menemukan selisih nilai ekspor pada 2020 senilai Rp8,6 triliun; 2021 senilai Rp2,7 triliun; dan Rp3,1 triliun pada periode Januari—Juni 2022. Seluruh transaksi ini ilegal karena pemerintah telah melarang ekspor ore nikel sejak, Januari 2020.
Berdasarkan pemeriksaan sementara, KPK menduga bijih nikel tersebut berasal dari sejumlah tambang di wilayah Sulawesi dan Maluku Utara. Rencananya, KPK pun akan mengusut kasus dugaan korupsi ekspor bijih nikel ini karena diduga melibatkan banyak pihak dan lembaga.
(rez/wdh)