Indonesia dalam beberapa kali pemilu dan pilkada menunjukkan angka yang cukup tinggi partisipasinya dibandingkan negara lain di dunia. Pemilih Indonesia termasuk loyal datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
"Pada Pemilu 2019 misalnya angka pengguna hak pilih (voter turn out) tercatat sebesar 81% lebih, sedang pada Pilkada 2020 di tengah pandemi, angka pengguna hak pilih juga mencapai lebih dari 76%," kata Titi dihubungi pada Selasa pagi (4/7/2023).
Oleh karena itu para calon yang akan berkompetisi perlu membawa isu-isu yang kontemporer dan modern misalnya antikorupsi, perubahan iklim, olahraga, pendidikan dan teknologi.
"Pemilih muda bukan sekadar objek, tapi subjek pemilu yang suaranya harus dibuat bermakna. Capres dan cawapres sudah tidak masanya cuma menggunakan pendekatan simbolik atau aksesoris ala anak muda tapi harus bisa membawa isu konkret yang yang mereka akan tawarkan bagi para anak muda yang akan memilih nanti," kata Titi lagi.
Namun kata dia yang perlu dicatat bahwa pemilih muda di Indonesia bukan entitas tunggal melainkan juga diperngaruhi banyak faktor mulai dari agama, budaya, pergaulan, ekonomi hingga geografis. Oleh karena itu pendekatan juga harus dilakukan atas karakter-karakter yang berbeda itu. Dia melanjutkan, pemilih muda saat ini sudah lebih mampu menentukan pilihan dan bersifat kritis. Namun mereka harus mendapatkan akses informasi yang kredibel sehingga figur yang mereka pilih nantinya adalah calon yang memang punya kualitas.
"Tantangannya justru adalah bagaimana memastikan antusiasme dalam penggunaan hak pilih tersebut juga berkorelasi dengan keterpilihan pejabat publik yang memang mampu membawa aspirasi konstituen secara optimal. Sehingga tujuan pemilu untuk berkontribusi bagi kesejahteraan dan kemajuan masyarakat juga bisa tercapai," kata Titi yang juga mantan Koordinator Perludem itu.
Dihubungi terpisah, pengamat Komunikasi Politik Eka Wenats Wuryanta menilai pemilih milenial dan pemilih generasi Z tak bisa disamakan. Meskipun keduanya masuk dalam pemilih muda namun kebutuhan dan karakter mereka berbeda. Hal-hal ini yang harus perlu digali oleh para calon yang akan bertarung baik calon legislatif maupun calon presiden dan wakilnya.
Menurut dia, pemilih muda akan cenderung menjadi swing voters 'massa mengambang' pemilih yang masih bisa berubah-ubah pilihannya, dibandingkan menjadi golput pada pemilu nanti. Oleh karena itu perilaku ini harus dipahami oleh para calon melalui riset yang bisa dilakukan. Isu-isu kampanye mereka harus ditajamkan sesuai dengan kebutuhan pemilih muda.
"Sebetulnya milenial dan gen Z itu juga mesti dibedakan. Jadi capres-cawapres ini juga harus membedakan pola kampanyenya ke mereka. Kalau ke milenial harus gini, ke gen Z gitu," kata Eka yang juga pengajar di Universitas Multimedia Nusantara itu, Selasa (4/7/2023).
Angka DPT milenial hingga 33% dan generasi Z di atas 22% tak boleh diabaikan karena ceruk tersebut sangat besar jumlahnya dan bisa menentukan kemenangan.
(ezr)