Penerimaan pajak masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) alias tax ratio di Indonesia masih rendah.
“Rasio penerimaan pajak terhadap PDB di Indonesia adalah 10,1% pada 2020. Di bawah rata-rata Asia-Pasifik (28 negara) yang sebesar 19,1%. Juga di bawah rata-rata negara OECD yakni 33,5%,” sebut riset OECD.
Tax ratio Indonesia, lanjut riset OECD, turun 1,5 poin persentase dibandingkan 2019 yang 11,6%. Sejak 2007 hingga 20120, tax ratio Indonesia berkurang 2,1 poin persentase.
Selama periode ini, tax ratio tertinggi tercipta pada 2008 yaitu 13%. Sementara yang terendah adalah 2020.
Jika penerimaan pajak naik seiring peningkatan pendapatan masyarakat, maka pemerintah punya ruang untuk bermanuver dalam kebijakan fiskal. Pemerintah akan punya sumber daya finansial untuk membiayai program-program kesejahteraan rakyat seperti pendidikan dan kesehatan.
Mengutip riset Arika Yusri dalam Jurnal Perencanaan Pembangunan Volume VI No 1 edisi April 2022, peningkatan belanja pemerintah berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Riset Arika mengambil sampel di Aceh, dengan fokus ke Dana Alokasi Khusus (DAK).
“Studi ini menggambarkan bahwa alokasi DAK mampu mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan persentase warga dengan akses sanitasi, serta meningkatkan angka partisipasi sekolah menengah atas,” tulis riset tersebut.
Selain itu, peningkatan penerimaan pajak juga akan membuat Indonesia mampu mengurangi ketergantungan terhadap utang. Per akhir Mei 2023, utang pemerintah Indonesia tercatat Rp 7.787,51 triliun atau 37,85% dari PDB.
Kesenjangan Masih Tinggi
Bank Dunia menggunakan pendekatan Pendapatan Nasional Bruto (Gross National Income/GNI) untuk mengukur klasifikasi negara. Negara dengan GNI per kapita di kisaran US$ 4.466-13.845 kini masuk kategori negara berpendapatan menengah-atas.
GNI sedikit berbeda dengan PDB. GNI tidak memasukkan pendapatan yang diperoleh pihak asing, murni pendapatan nasional. Sementara PDB memasukkan pendapatan pihak asing.
Namun perlu dicatat, pendapatan (baik GNI maupun PDB) per kapita adalah nilai rata-rata. Nilai PDB atau GNI dibagi jumlah penduduk.
Oleh karena itu, ada mereka yang tidak terwakili oleh data ini. Mereka yang hidup di bawah rata-rata, mereka yang miskin. Mereka yang tidak terwakili oleh status negara berpendapatan menengah-atas.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin di Indonesia per September 2022 adalah 26,36 juta orang (9,57%).
Meski pendapatan per kapita Indonesia naik, tetapi kesenjangan masih relatif tinggi. Tingkat ketimpangan yang diukur dengan rasio gini pada September 2022 tercatat 0,381, menurut perhitungan BPS. Tidak berubah dibandingkan setahun sebelumnya.
Rasio gini menggunakan angka 0 sampai 1. Semakin tinggi angkanya, maka ketimpangan makin lebar. Saat angkanya makin rendah, maka ketimpangan antar-masyarakat kian sempit alias makin setara.
Sedangkan menurut Bank Dunia, rasio gini Indonesia pada 2022 adalah 0,379. Masih di atas rata-rata Asia-Pasifik yang 0,35.
Kenaikan status menjadi negara berpendapatan menengah-atas tentu menjadi kabar gembira. Namun bagi rakyat, terutama penduduk miskin, yang lebih dibutuhkan adalah pemerataan. Kesenjangan yang masih lebar harus dipersempit, dan menjadi pekerjaan penting bagi penyelenggara negara.
(aji/evs)