China memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong setelah protes jalanan anti-pemerintah yang meluas yang mengguncang kota tersebut, Juni 2020. Sejak saat itu, China menggunakan undang-undang tersebut untuk menindak tegas perbedaan pendapat; termasuk dengan menangkap anggota parlemen, jurnalis, dan aktivis demokrasi.
Undang-undang yang luas ini memiliki yurisdiksi global untuk kasus-kasus yang melibatkan terorisme, pemisahan diri, subversi, dan kolusi dengan kekuatan asing. Ancamannya adalah hukuman penjara seumur hidup.
Keberadaan beleid ini memang menimbulkan kekhawatiran China mungkin akan menjangkau orang-orang di luar perbatasannya. Mereka merasa bisa mengadili semua orang yang dituduh melakukan kejahatan di bawah undang-undang tersebut.
Sebelumnya, Pemerintah Inggris juga telah memperingatkan warganya yang disebut masuk dalam kasus keamanan nasional Hong Kong untuk menghindari bepergian ke negara-negara yang memiliki perjanjian ekstradisi dengan wilayah China. Negeri Tirai Bambu tersebut kemudian menuduh Inggris telah melindungi "penjahat yang dicari". Hal ini merujuk pada tuduhan pemberian suaka terhadap mantan politisi terpilih di Hong Kong, Law.
Li mengatakan, sekitar 260 orang, berusia 15 hingga 90 tahun, telah ditangkap karena tindakan yang membahayakan keamanan nasional dalam tiga tahun terakhir. Pemerintah pun telah mendakwa dua pertiga dari orang-orang yang ditangkap. Angka tersebut termasuk penangkapan di bawah undang-undang penghasutan kolonial yang telah dihidupkan kembali oleh polisi keamanan.
Awal tahun ini, seorang mahasiswa Hong Kong ditangkap karena melakukan penghasutan atas serangkaian komentar pro-kemerdekaan yang diunggahnya pada media sosial. Mahasiswa ini sedang belajar di Jepang.
(bbn)