"Pekerja remote, hybrid, dan hubungan antara kehidupan dan pekerjaan yang fleksibel merupakan nilai tambah bagi ekonomi, bisnis, dan pegawai" kata DragoČ™ Pîslaru, selaku ketua Komite Parlemen Eropa bidang Ketenagakerjaan dan Urusan Sosial juga orang yang menandatangani dokumen tersebut.
"Ini seharusnya tidak mengorbankan pekerja dengan garis yang tidak jelas, antara kehidupan pribadi dan profesional, yang justru meningkatkan tingkat kelelahan dan kesepian."
Dokumen tersebut dibuat di atas proposal Uni Eropa tentang "hak untuk berhenti", sebuah seruan bagi Uni Eropa memberikan hak hukum pada karyawannya untuk berhenti melakukan pekerjaan dan komunikasi elektronik di luar jam kerja. Ben Marks, salah satu pendiri Future Workforce Alliance, mengatakan kebijakan tersebut, yang sudah diberlakukan di sejumlah negara anggota Uni Eropa seperti Prancis, Spanyol, dan Belgia.
Perhatian Uni Eropa terhadap hak-hak pekerja remote muncul setelah para manajer mengkhawatirkan produktivitas dan kehilangan kontak dengan karyawan. Di saat yang sama, para pegawai bertekad untuk mempertahankan fleksibilitas, meskipun beberapa merasa semakin kesepian di rumah. Ada juga kekhawatiran yang meningkat tentang memburuknya kesehatan mental di kalangan pekerja karena bisnis belum menemukan cara untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara pekerjaan dan kehidupan di dunia hybrid.
"Sejujurnya saya tidak percaya bahwa kita perlu mengatur secara berlebihan," kata Pîslaru.
Menurut dia, sektor swasta ternyata cukup proaktif. Bahkan, beberapa perusahaan sudah mulai membuat kode etik dan peraturan internal yang bisa menjadi sumber inspirasi Uni Eropa.
Perusahaan di Eropa telah bereksperimen dengan empat hari kerja dalam satu pekan. Belanda menjadi salah satu negara pertama yang menetapkan bekerja dari rumah sebagai hak hukum.
(bbn)