Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Peluang kenaikan bunga acuan Federal Reserve yang semakin besar menyusul data inflasi belanja konsumen yang masih di atas ekspektasi pelaku pasar, memicu tekanan pada pasar surat utang negara dan memupus kekuatan rupiah.

Pengumuman data inflasi Juni yang mencatat angka lebih rendah di 3,52%, turun signifikan dibandingkan inflasi Mei di 4% dan juga lebih rendah ketimbang konsensus ekonom, tidak mampu memberikan katalis positif bagi nilai tukar rupiah dan pamor surat utang RI terutama di tenor lebih pendek.

Pasangan USD/IDR diperdagangkan di kisaran Rp15.029/US$, mengindikasikan pelemahan nilai tukar rupiah sekitar 36 bps pada pukul 11:51 WIB, Senin (3/7/2023). Nilai tukar rupiah sempat menyentuh level terlemah hari ini di posisi Rp15.038/US$ pada awal perdagangan.

Adapun tingkat imbal hasil atau yield Surat Utang Negara (SUN/INDOGB) sebagian mencatat kenaikan, indikasi adanya tekanan jual yang meluruhkan harga. Imbal hasil SUN tenor 2 tahun naik tipis ke 5,882%, disusul kenaikan yield SUN 5 tahun di 5,925%. Namun, yield benchmark SUN 10 tahun dan 15 tahun masing-masing menunjukkan penurunan di 6,246% dan 6,470%. Para pemodal menunjukkan animo lebih besar pada surat utang RI tenor lebih panjang.

Di saat yang sama, yield US Treasury, surat utang AS tenor 10 tahun semakin tinggi ke level 3,837%, membawa selisih antara INDOGB dan UST ke kisaran 240 bps.

Tekanan di pasar obligasi negara tidak bisa dilepaskan dari semakin tingginya probabilitas kenaikan bunga acuan Fed fund rate hingga dua kali di sisa tahun ini. 

Inflasi inti Personal Consumption Expenditure (PCE) Amerika pada Mei lalu hanya turun tipis menjadi 4,6% dari 4,7% di bulan sebelumnya di kala inflasi umum PCE negeri itu mencatat perlambatan sesuai ekspektasi pasar di level 3,8%.

Data terbaru indeks yang menjadi acuan utama kebijakan bunga The Fed tersebut langsung melonjakkan ekspektasi pelaku pasar bahwa kenaikan Fed fund rate pada akhir Juli ini hampir pasti terjadi dengan probabilitas hingga 87,4%. Yaitu naik ke level 5,5%.

Sementara itu, pelaku pasar dan analis juga semakin yakin The Fed akan melanjutkan kenaikan bunga acuan sebesar 25 bps pada November atau Desember nanti ke level 5,75% dengan probabilitas lebih dari 30%. Ekspektasi itu akan melejitkan pamor dolar Amerika dan secara otomatis menekan mata uang yang menjadi lawannya. 

Rebound manufaktur karena libur usai

Aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia pada Juni ada di 52,5. Meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,3 dan kenaikan 2,2 poin menjadi yang tertinggi dalam 1,5 tahun terakhir. Manufaktur Indonesia berada di fase ekspansi selama 22 bulan beruntun.

Walau mencatat angka yang tinggi, menurut analis, itu masih sulit menjadi cerminan bahwa perekonomian domestik sudah di fase kuat secara stabil. "Pelemahan ekonomi dirasakan lebih dalam ketimbang yang terlihat di permukaan. Rebound manufaktur kemungkinan dipengaruhi oleh kembalinya ekonomi pasca Lebaran. Optimisme bisnis walau mencatat rebound akan tetapi relatif rendah secara historis," komentar ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro. 

Lemahnya permintaan tecermin dari tekanan deflasi karena tekanan biaya dan ASP turun untuk pertama kalinya dalam 32 bulan, dengan "beberapa perusahaan ingin menawarkan diskon untuk mendorong penjualan", menurut laporan PMI.

(rui/aji)

No more pages