Bahlil sendiri mempertanyakan hasil laporan dan analisis IMF menyangkut kebijakan hiliriasi dan setop ekspor tersebut. Menurutnya, permintaan tersebut terbilang janggal. Pasalnya, IMF sendiri mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi dan neraca perdagangan Indonesia dalam keadaan yang baik.
"Dia (IMF) mendiagnosa saja kepada negara-negara yang sekarang sedang susah. Tidak usah campur-campur urus Indonesia. Dia mengakui pertumbuhan ekonomi RI sudah baik, neraca perdagangan sudah baik, ada apa? Ini kan standar ganda," kata Bahlil.
Dia melanjutkan, dengan melakukan hilirisasi maka penerimaan negara meningkat. Ia lantas mencontohkan bahwa dengan dukungan hilirisasi yang dilakukan pada komoditas nikel meningkat 10 kali lipat menjadi US$30 miliar pada 2022 dibandingkan pada periode 2017 hingga 2018 yang hanya sebesar US$3 miliar.
"Dengan kita melakukan hilirisasi itu penciptaan nilai tambah itu sangat tinggi sekali di negara kita. Contoh hilirisasi kita di nikel ekspor 2017-2018 itu hanya US$3,3 miliar. Begitu kita menyetop ekspor nikel kita melakukan hilirisasi ekspor kita di tahun 2022 itu hampir US$30 miliar atau 10 kali lipat," ujarnya.
Selain itu investasi di industri logam dasar juga meningkat menjadi Rp171,2 triliun pada 2022. Lalu, hilirisasi juga berdampak pada membaiknya neraca perdagangan RI.
Ia mencatat, neraca dagang Indonesia defisit US$3,6 miliar pada 2019 atau sebelum ada larangan ekspor dan hilirisasi. Dengan adanya kebijakan tersebut, neraca dagang pun terus surplus. Pada 2022, neraca dagang RI surplus hingga US$54,5 miliar.
"Dengan hasil hilirisasi ini surplus neraca perdagangan kita sudah sampai dengan 25 bulan sekarang ini dan neraca pembayaran kita juga mengalami perbaikan dan bahkan terjadi ini akibat apa? Hilirisasi," tutur Bahlil.
Sebelumnya, IMF mendesak Indonesia untuk tidak memperluas kebijakan hilirisasi yang tengah bergulir saat ini. Hal itu tertuang dalam laporan bertajuk "IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia" yang dipublikasikan Senin (26/6) lalu.
Lembaga keuangan yang berbasis di Washington D.C itu berharap pemerintah Indonesia tidak memperluas larangan ekspor terhadap komoditas lainnya.
Dalam publikasi tersebut IMF mengatakan adanya potensi pendapatan negara yang hilang, dalam hal ini pajak ekspor, lantaran larangan ekspor mineral seperti nikel, bauksit dan tembaga.
"Dalam konteks ini, pihak berwenang harus mempertimbangkan kebijakan dalam negeri yang mencapai tujuannya untuk meningkatkan nilai tambah dalam produksi, dengan menghapus pembatasan ekspor secara bertahap dan tidak memperluas pembatasan tersebut ke komoditas lain," dirilis IMF.
(ibn/ezr)