Tidak bisa dipungkiri kebijakan swasembada yang sudah dimulai sejak Indonesia merdeka memberikan dampak pada munculnya ketergantungan terhadap komoditas pangan tertentu.
Secara hukum ekonomi, menurut Azizah konsumen akan cenderung mengkonsumsi pangan yang tersedia dalam jumlah besar atau massal di pasar. Di luar faktor lain, seperti preferensi dan pemahaman soal gizi seimbang, konsumen dengan sendirinya akan memilih komoditas yang mudah ditemukan, dalam hal ini beras.
“Harus diakui, kebijakan pangan cenderung fokus pada produksi dan stok, dan cenderung tidak mengedepankan aspek keragaman atau diversifikasi.
Tidak dapat dipungkiri, beras memang sudah menjadi satu komoditas pokok yang dikonsumsi di hampir semua wilayah Indonesia,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021 konsumsi beras mencapai 13-46x lipat konsumsi makanan pokok kaya karbohidrat lainnya. Memaksakan preferensi pangan masyarakat tidak boleh dilakukan, tetapi kebijakan pangan bisa diarahkan untuk mendorong keragaman konsumsi.
“Ketergantungan terhadap beras tentu memiliki implikasi terhadap gizi karena menghambat konsumsi pangan beragam dan bergizi seimbang. Padahal menurut WHO [Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization] asupan gizi seimbang, beragam dan cukup kalori sangat penting untuk mencegah datangnya penyakit.,” tutur Azizah.
Sementara, untuk komoditas apapun, produksi yang tidak memperhatikan praktek pertanian cerdas iklim (smart climate agriculture) tentu berbahaya bagi keberlanjutan dan ekosistem lingkungan.
“Diversifikasi pangan juga perlu didukung oleh pemanfaatan perdagangan pangan yang lebih terbuka dan transparan, sehingga harganya bisa lebih terjangkau,” tegasnya.
Pengembangan produksi dalam negeri juga perlu dilakukan melalui intensifikasi dan modernisasi untuk meningkatkan produktivitas secara efisien tanpa memperparah kerusakan lingkungan.
(rez)