“Kebijakan yang akan dijalankan dapat diimplementasikan dengan mempertimbangkan kontrak jangka panjang [long term contract] dan mudah dalam pelaksanaanya," paparnya.
Sementara itu, Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan, Ditjen Perdagangan Luar Negeri Farid Amir menyebut hanya CPO dengan kode harmonized system (HS) 15.111.000 yang diwajibkan untuk masuk ke bursa berjangka komoditas itu. Produk CPO dengan kode tersebut dipilih lantaran volumenya tidak terlalu besar sehingga tidak menimbulkan goncangan yang besar saat diimplementasikan.
Farid menjelaskan bahwa tidak ada perubahan signifikan pada alur bisnis kebijakan ekspor CPO melalui bursa berjangka. Hanya ada penambahan satu proses sebelum eksportir melakukan ekspor CPO, yaitu harus ditransaksikan di bursa berjangka untuk kemudian diterbitkan bukti pembelian CPO oleh bursa yang nantinya digunakan dalam pemrosesan Persetujuan Ekspor (PE).
"Pihak-pihak yang berhak melakukan ekspor adalah Eksportir Terdaftar [ET] dan memiliki Hak Ekspor [HE] yang diperoleh dari pemenuhan atas kebijakan Domestic Market Obligation [DMO] dan/atau dari pihak yang mengalihkan HE atas pemenuhan DMO,” paparnya.
Sebelumnya Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko mengatakan hadirnya bursa berjangka CPO membuat Indonesia bisa berdaulat menentukan harga jual komoditas perkebunan itu. Tidak seperti sekarang, di mana harga patokan ekspor (HPE) masih mengacu pada cost, insurance and freight (CIF) Rotterdam dan Malaysia Derivatives Exchange (MDEX).
"Melalui bursa berjangka CPO ini akan terbentuk price reference yang bisa kita jadikan sebagai HPE. Jadi, harga ekspor kita tidak mengacu lagi ke CIF Rotterdam dan Malaysia [MDEX]," katanya dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Bappebti, Jakarta Pusat, Jumat (19/5/2023).
Lebih lanjut, Didid mengungkapkan, setiap tahunnya akan ada sekitar 3 juta ton CPO yang akan diperdagangkan di bursa berjangka CPO atau 9,75% dari total ekspor produk berbasis kelapa sawit Indonesia.
Seperti diketahui, setiap tahunnya rerata produk berbasis kelapa sawit Indonesia mencapai 50 juta ton. Sebanyak, 30 juta di antaranya diekspor.
"Dari 30 juta ton itu, yang masuk kode HS 15.111.000 itu hanya sekitar 9,75% atau mendekati 3 juta ton, inilah yang akan kami wajibkan untuk ekspornya nanti melalui bursa," tegasnya.
(rez/aji)