Yield obligasi pemerintah Australia dan Selandia Baru naik masing-masing sekitar 9 bps pada awal perdagangan. Para ekonom memperkirakan Bank Sentral Australia (RBA) akan menaikkan suku bunga acuan dalam rapat pekan depan.
Data yang akan menjadi fokus hari ini adalah Purchasing Managers’ Index (PMI) di China, yang kemungkinan akan kembali melemah. Dikhawatirkan pemerintah China tidak melakukan hal yang cukup untuk menstimulasi ekonomi.
Yuan China masih menjadi sorotan usai merosot ke posisi terlemah dalam 7 bulan. Tahun ini, yuan melemah hampir 5% terhadap dolar AS.
Data inflasi Tokyo juga akan dirilis, yang memberi gambaran harga di Jepang secara umum. Para ekonom memperkirakan ada kenaikan.
Namun ini sepertinya belum cukup untuk meredakan tekanan terhadap yen, yang menuju level JPY 145/JPY.
Pembacaan kedua terhadap pertumbuhan ekonomi AS kuartal I-2023 menghasilkan angka 2% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Lebih tinggi dari pembacaan pertama yaitu 1,3% dan di atas konsensus pasar yang memperkirakan di 1,4%.
Kemudian klaim tunjangan pengangguran untuk pekan yang berakhir 24 Juni berada di 239.000. Turun 26.000 dari minggu sebelumnya.
Lalu inflasi yang diukur dengan Personal Consumption Expenditure (PCE), yang menjadi acuan The Fed, berada di 4,1% pada kuartal I-2023 dibandingkan kuartal sebelumnya. PCE inti ada di 4,9%. Masih jauh di atas target 2%.
“Pasar sedang memproses seberapa kuat data ekonomi tersebut, baik dalam hal positif maupun negatif. Data yang solid berarti ekonomi lebih berdaya tahan, yang akan membuat The Fed makin yakin untuk terus menaikkan suku bunga,” kata Carol Schleif, Chief Investment Officer di BMO Family Office.
Setelah data ekonomi keluar, inversi yield obligasi pemerintah AS semakin kentara. Inversi adalah yield tenor jangka panjang naik lebih sedikit dibandingkan tenor pendek.
Artinya, ekonomi mungkin sekarang terlihat kuat tetapi investor memperkirakan kenaikan suku bunga acuan akan menekan pertumbuhan dan kemudian meningkatkan risiko resesi.
(bbn)