Berdasarkan hasil penyidikan, politeknik tersebut tidak memiliki izin untuk proses pemagangan di luar negeri. Politeknik pun tak memiliki kurikulum pemagangan di luar negeri. Kerja sama politeknik dengan pabrik di Jepang pun tak diketahui KBRI Tokyo.
Pada praktiknya para korban berangkat ke Jepang dengan visa pelajar dengan durasi satu tahun. Perusahaan kemudian memperpanjang izin mahasiswa tersebut dengan mengurus visa kerja selama enam bulan.
Berdasarkan perjanjian, para korban mendapat upah 50.000 yen atau sekitar Rp5 juta per bulan. Akan tetapi mereka harus menyetor 17.500 yen atau sekitar Rp2 juta per bulan kepada politeknik.
Para mahasiswa yang protes dan menuntut kembali ke Indonesia justru mendapat ancaman. Politeknik mengancam akan memberikan status drop out atau DO kalau mahasiswa pulang dari Jepang sebelum durasi kerja.
“Sampai dengan bulan Januari 2021, masih terdapat saldo penerimaan dana kontribusi sebesar Rp238.676.000," kata Djuhandhani.
Dalam kasus ini polisi menyita satu bundel fotokopi surat dari politeknik perihal permohonan rekomendasi pengurusan paspor, satu lembar surat kepala dinas perindustrian dan tenaga kerja, satu bundel rekening koran bank BRI, satu lembar fotokopi slip penyetoran bank BNI dan barang bukti lainnya.
Para Pelaku dijerat Pasal 4 Undang Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan TPPO. Lalu, Pasal 11 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan TPPO.
(frg/ezr)