“Bandingkan dengan PRS (Political Risk Service), dia di tahun 2021 angkanya 48 berarti turun 13 poin itu turut menyumbang CPI kita dari 38 menjadi 34 tahun ini,” kata Manajer Departemen Riset TII Wawan Suyatmiko dalam acara yang sama.
Menurutnya, hal tersebut menjadi pekerjaan besar untuk pemerintah, lembaga politik, para pengusaha, dan juga masyarakat sipil untuk kembali mengejar kembali kenaikan secara maksimal.
Di sisi lain, Wawan juga mengatakan bahwa negara yang mampu melakukan pemberantasan dan pencegahan korupsi ini selaras dengan indeks demokrasinya. Ia menyebut rata-rata IPK negara yang demokrasinya baik ada di angka 70 poin.
“Negara-negara dengan demokrasi yang berjalan baik itu rata-rata korupsi indeksnya ada di angka 70. Sebaliknya, negara-negara dengan otokrasi, atau yang paling kuat istilahnya otoriter itu rata-rata tingkat korupsinya jauh lebih rendah,”
Wawan Suyatmiko, Manajer Riset Transparency International Indonesia
Sementara Bivitri juga mengkritik soal World Justice Project- Rules of Law Index. Meskipun naik 1 poin, menurutnya, penerapan hukum yang terjadi di Indonesia sama sekali tidak berpihak kepada masyarakat.
Menurutnya, dalam penerapan hukum atau legalitas yang menurut pemerintah dapat mengurangi beban masyarakat, justru dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri.
“Saya ingin menunjukkan kritik saya pada rule of law. Indonesia memang WJP Indeksnya itu naik 1 poin, tapi ada kritik sebenarnya di sini. Yaitu pertama, kredibilitas dari expert opinion, kemudian yang kedua, ada bias antara kelompok urban ahli dengan penerima dampak hukum. Siapa sih yang penerima dampak hukum? Itu yang digusur untuk proyekan nasional atau orang yang kena banyak bencana karena infrastruktur yang ternyata proyeknya banyak sekali dipotong sana sini karena harus mendanai penyuapan-penyuapan,” kata dia lagi.
“Ketiga, ada isu legalisme, sadar hukum. Semua yang legal baik-baik saja. Tekanan saya adalah soal autocratic legalism, otoriarianisme berbungkus hukum. Jadi segala sesuatu yang dilandaskan hukum seakan-akan punya legitimasi. Sehingga UU itu seringkali dibuat bukan untuk memecahkan akar masalah tapi digunakan untuk melegalkan praktik-praktik yang sebenarnya untuk korporat,” lanjutnya.
(ibn/ezr)