Gangguan cuaca liar yang makin sering terjadi –seperti kekeringan di AS dan sebagian Eropa, serta gelombang panas di China dan India– mengguncang produksi pertanian global. Namun, anomali yang lebih besar diperkirakan terjadi akhir tahun ini seiring dengan dimulainya El Nino, yang biasanya membawa cuaca kering ke Asia dan hujan ke Amerika Selatan.
Beberapa analis melihat kenaikan harga yang lebih besar pada saat El Nino, meskipun koreksi terhadap imbal hasil (yield) mungkin tidak akan terjadi hingga tahun depan.
“Harga sudah bisa naik sekitar 20% saat El Nino terjadi dalam intensitas sedang, tetapi jika intensitasnya kuat, akan ada dampak yang jauh lebih besar,” kata Hoe Lee Leng, Kepala Perkebunan Regional di RHB Investment Bank.
Di sisi lain, kekecewaan atas rencana pemerintahan Presiden AS Joe Biden dalam kebijakan kuota bahan bakar nabati serta prospek rekor produksi kedelai di Brasil, produsen utama dunia, dapat meredam sentimen investor untuk pasar minyak nabati.
Saat diminta perkiraan seberapa jauh harga CPO bisa jatuh pada semester II-2023, rata-rata responden menanggapi di level 3.200 ringgit per ton. Minyak sawit ditutup pada 3.620 ringgit pada perdagangan Jumat pekan lalu.
Cuaca Liar
El Nino akan menjadi variabel risiko terbesar terhadap harga minyak nabati dunia tahun ini. Kuncinya adalah seberapa intens anomali cuaca itu akan terjadi dan memengaruhi tidak hanya produksi sawit, tetapi juga kedelai, bunga matahari, dan biji rapa.
Harga kelapa sawit, yang notabene bahan baku minyak goreng yang paling banyak dikonsumsi di dunia, sangat dipengaruhi oleh minyak-minyak nabati lainnya karena CPO bersaing dengan mereka di pasar global.
Selain El Nino, variabel kunci lainnya adalah kekeringan AS. Tanaman kedelai yang mengalami kekeringan sedang hingga intens naik 6 poin persentase dalam sepekan terakhir menjadi 57%, dibandingkan dengan hanya 11% pada waktu yang sama tahun lalu.
Sementara gangguan panen akan terus berlanjut di banyak daerah di Negeri Paman Sam, beberapa perkiraan cuaca sekarang menunjukkan peluang hujan yang lebih baik dalam 14 hari ke depan.
Analis Senior Rabobank Singapura Oscar Tjakra mengestimasikan, tanpa gangguan yang signifikan, persediaan kedelai dan biji rapa global pada 2023—2024 lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Jika itu terjadi, harga minyak nabati dunia akan mengikis daya saing CPO. Namun, dia menambahkan, resesi ekonomi juga akan menjadi ancaman terhadap permintaan.
Produksi Sawit
Pada perkembangan lain, para analis juga memperdebatkan perkara prospek produksi minyak sawit pada semester II-2023. Beberapa memproyeksikan produksi meningkat dalam beberapa bulan mendatang akibat siklus musim panen dan berkurangnya tenaga kerja di Malaysia. Lainnya mengestimasikan produksi dan produktivitas sawit cenderung mengecewakan lantaran banyak pohon sudah tua.
Anilkumar Bagani, Kepala Peneliti Sunvin Group yang berbasis di Mumbai, mengatakan produksi CPO Malaysia melonjak 27% pada Mei dari bulan sebelumnya, menandai peningkatan terbesar di negara produsen sawit terbesar kedua dunia dalam lebih dari dua tahun. Di Indonesia, produsen utama sawit dunia, produksi dia perkirakan bisa melonjak lebih dari 30%.
“Produksi minyak sawit yang lebih tinggi pada periode Mei—Oktober akan memastikan persediaan yang lebih besar di Malaysia dan Indonesia, yaitu sekitar 6,5 juta hingga 7 juta ton, sehingga menjaga kenaikan harga,” kata Bagani.
Sekadar catatan,survei dilakukan sebelum akhir pekan lalu, saat pemberontakan oleh kelompok tentara bayaran Wagner, akhirnya dibatalkan menyusul kesepakatan antara pemimpinnya dan Presiden Vladimir Putin. Para traders terus memantau perkembangan dan prospek ekspor biji-bijian dan minyak bunga matahari dari wilayah Laut Hitam.
--Dengan asistensi Pratik Parija, Eko Listiyorini, dan Hallie Gu.
(bbn)