"Semua orang tahu politisi bisa jadi pebisnis, bisa jadi kepala daerah dan tidak ada aturan risk-nya. Semua orang tahu partai politik itu enggak ada sumber uangnya kecuali dari bantuan pemerintah yang sangat kecil. Setengah mati kita usulkan ayo dong parpolnya diperkuat. Emang ada jaminannya kalau partai kuat tidak ada korupsi? Ya enggak ada. Tapi kan ada upaya logisnya gitu lho," kata dia.
Menurutnya, IPK anjlok Indonesia itu adalah hasil "terjebaknya" Indonesia pada kondisi nyaman saat ini. Namun tak ada terobosan dalam hal pencegahan tindak pidana korupsi.
Sementara itu di sisi lain, ekonom senior INDEF, Faisal Basri yang juga hadir dalam kesempatan itu turut mengkritisi anjloknya ranking skor IPK Indonesia.
"Jadi kita ada di masa yang amat kritis. Jadi diinjak-injak gitu dibejek itu, hukum itu dan mereka tidak gentar, kagak ngefek. Tapi mereka lupa, kesadaran publik itu. Ini kan namanya kedzaliman yang luar biasa," kata Faisal Basri.
Ia juga kemudian mempertanyakan komitmen Jokowi dalam hal pemberantasan korupsi.
TI Indonesia menjelaskan bahwa dalam IPK Indonesia kali ini, interval pengambilan data medio satu hingga dua tahun terakhir sampai dengan Oktober 2022. Adapun tema besarnya adalah "Korupsi: Penyalahgunaan Kekuasaan untuk Kepentingan Pribadi".
Indeks ini menggunakan data dari persepsi pebisnis dan pakar, kemudian dari sektor publik yaitu pejabat dan politisi. Indeks didapatkan dari gabungan 13 sumber data. Sementara secara global untuk indeks yang sama, survei ini juga dilakukan sebanyak 180 negara.
(ezr)