Logo Bloomberg Technoz

Berikut ini sederet bukti baru yang mencerminkan tantangan pelemahan ekonomi tengah dihadapi oleh Indonesia dan pada banyak alasan membutuhkan stimulus lebih banyak agar tidak semakin merosot dalam:

1. Aktivitas manufaktur lemah

Tingkat permintaan yang masih lesu telah membuat aktivitas perdagangan dunia semakin runyam. Hal itu berimbas signifikan terhadap penurunan aktivitas manufaktur. 

"Dilihat dari indeks PMI Global [Purchasing Manager Index], dunia masih dalam fase kontraksi untuk aktivitas manufaktur di mana negara yang masih dalam posisi zona ekspansi dan meningkat [di atas 50 dan tumbuh positif] hanya 24% seperti India, Filipina, Rusia, Jepang dan China. Sedangkan negara [dengan indeks PMI] di atas 50, hanya 14%. Mayoritas negara mencatat PMI manufaktur di zona kontraksi [tumbuh negatif]," papar Sri.

Indeks Keyakinan Industri dan PMI Manufaktur terus mencatat pelemahan sementara keyakinan konsumen justru membaik (Div. Riset Bloomberg Technoz)

Khusus Indonesia, S&P Global melaporkan, aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) berada di posisi 50,3 pada bulan lalu, turun dibanding April sebesar 52,7. Itu juga menjadi level indeks terendah sejak November tahun lalu.

“Penyebab utama perlambatan PMI adalah penurunan permintaan baru (new orders). Volume pekerjaan turun untuk kali pertama sejak Agustus 2021, setelah pada April mencatat rekor tertinggi dalam 7 bulan terakhir,” sebut keterangan tertulis S&P Global.

Bagi Indonesia, lesunya manufaktur juga diperparah dengan berakhirnya rezeki runtuh komoditas seiring penurunan harga komoditas global akibat lemahnya permintaan. Harga gas alam tercatat turun -38% sepanjang 2023 ini (year to date), lalu batubara -63,8%, minyak mentah -14,3%, juga minyak sawit mentah -15,1%.

2. Permintaan pembiayaan lemah, kredit bank lesu

Akibat lesunya aktivitas pabrik, korporasi pun akhirnya mengerem kebutuhan pembiayaan mereka, termasuk pembiayaan dari bank berupa kredit modal kerja maupun investasi. 

Data Bank Indonesia mencatat, pada Mei lalu pertumbuhan kredit tumbuh 9,37%, meningkat dibanding April 8,08% akan tetapi belum mampu kembali ke level awal tahun yang dua digit. Lesunya permintaan kredit bank tidak bisa dilepaskan dari perlambatan permintaan pembiayaan baru oleh dunia usaha.

Pertumbuhan kredit perbankan mulai bangkit pada Mei meski belum tinggi (Div. Riset Bloomberg Technoz)

Situasi itu tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemulihan ekonomi Tiongkok, salah satu motor pertumbuhan ekonomi dunia, yang ternyata mengecewakan.

Hasil survei BI yang dirilis 22 Juni lalu menyebut, kebutuhan pembiayaan korporasi untuk tiga bulan ke depan hingga Agustus, diperkirakan masih akan melambat dengan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) 23,2% dari SBT sebelumnya 29%. Beberapa sektor yang tercatat masih akan rendah kebutuhan pembiayaannya antara lain sektor konstruksi, pertambangan dan pertanian.

3. Setoran pajak melambat

Pajak menggambarkan aktivitas ekonomi, karena mencatat pertambahan kekayaan maupun pertumbuhan aktivitas transaksi. Perlambatan pertumbuhan penerimaan pajak menjadi cermin kondisi ekonomi.

Aktivitas ekonomi yang lesu memicu implikasi pula pada tinggi rendah setoran pajak oleh para wajib pajak. Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan pajak Januari-Mei 2023 hanya tumbuh 17,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jauh melambat dibandingkan Januari-Mei 2022 yang tumbuh 53,5%.

Penerimaan pajak terlihat menurun di mayoritas sektor ekonomi. Di sektor industri pengolahan atau manufaktur, pertumbuhan selama 5 bulan pertama 2023 adalah 5,45%. Jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada 2022 yang melesat 50,9%.

Kemudian industri perdagangan mencatat pertumbuhan penerimaan pajak 9,3% pada Januari-Mei 2023. Selama periode yang sama tahun lalu, pertumbuhannya adalah 61,6%. "Ini kita perlu waspadai, karena dia memberikan sumbangan terbesar. Dua sektor tersebut menyumbang hampir 50% dari penerimaan pajak kita," tegas Sri Mulyani.

"Dari komposisi ini kita melihat dampak pelemahan ekonomi sudah mulai muncul, walaupun kita masih melihat tren positif. Kita lihat levelnya sudah mulai adanya koreksi dibanding tahun lalu yang pertumbuhannya sangat tinggi," jelas mantan petinggi Bank Dunia itu.

4. Ekses likuiditas bank menumpuk

Duit perbankan yang menumpuk dan belum tersalur menjadi kredit yang produktif terindikasi naik. Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), nilai penempatan oleh bank lain (dana pihak kedua) pada April lalu, melonjak 24,4%, melanjutkan tren kenaikan pada bulan sebelumnya sebesar 3,7%.

Duit 'nganggur' di sistem perbankan melonjak pada April akibat permintaan kredit lemah (Div. Riset Bloomberg Technoz)

Bila menghitung sejak awal tahun (year-to-date), nilai penempatan dari bank lain di sistem perbankan tercatat tumbuh 9,8%. Dibanding total nilai simpanan di sistem perbankan, proporsi simpanan dari bank lain itu memang sangat kecil, cuma 1% dari total.

Akan tetapi, lonjakan selama April juga tren kenaikan sejauh ini dapat memberi indikasi meningkatnya ekses likuiditas perbankan yang tidak produktif alias tidak tersalurkan menjadi kredit. Itu terkonfirmasi dari rendahnya penyaluran kredit pada April sebesar 8,08%, terendah sejak Maret 2022.

Permintaan pembiayaan baru dari dunia usaha yang masih lesu, mendorong bank menyalurkan ekses likuiditas itu menjadi pinjaman untuk bank lain agar tetap menghasilkan return.

4. Penjualan ritel lesu

Kinerja penjualan ritel pada April, menurut laporan Bank Indonesia, tercatat tumbuh 1,5% secara tahunan, mengindikasikan perlambatan dibanding Maret sebesar 4,9%. Meskipun bila melihat ukuran bulanan, penjualan eceran April masih tumbuh 12,8%, naik dibanding Maret 7% disokong penjualan kelompok sandang, seiring kedatangan perayaan Lebaran 2023.

Indeks Penjualan Ritel Indonesia sempat naik namun setelah itu memperlihatkan perlambatan (Dok. Bloomberg)

Adapun selama Mei, hasil survei memperkirakan kinerja penjualan ritel hanya tumbuh 0,02%, melambat dibanding April 1,5%. Untuk perkiraan penjualan ritel selama kuartal II-2023, hasil survei juga memperkirakan perlambatan masih terjadi dengan proyeksi pertumbuhan hanya 0,8%, dari 1,6% pada kuartal I-2023.

Sementara prakiraan kinerja penjualan dalam 3-6 bulan ke depan yaitu Juli dan Oktober, hasil survei memprakirakan penjualan ritel akan menurun dengan Indeks Ekspektasi Penjualan masing-masing sebesar 129 dan 130,1. "Penurunan penjualan pada Juli dan Oktober diperkirakan karena tertahannya permintaan domestik serta berakhirnya program diskon yang dilakukan oleh responden," jelas BI.

5. Belanja masyarakat belum pulih, daya beli terbebani

Ada kekhawatiran perlambatan ekonomi yang sudah berlangsung beberapa waktu tersebut seiring pelemahan kinerja ekspor dan berakhirnya windfall komoditas, mulai memukul daya beli masyarakat. Salah satu indikasi adalah anjloknya inflasi inti pada Mei lalu menjadi 2,66% dari sebesar 2,83%. Dengan ancaman El Nino yang bisa menggelorakan harga pangan terutama kelompok hortikultura dan beras, daya beli masyarakat bisa semakin terpukul. 

Belanja masyarakat untuk hewan kurban pada Idul Adha 2023 diperkirakan lesu mencerminkan pelemahan ekonomi domestik (Div. Riset Bloomberg Technoz)

Proyeksi terbaru yang dirilis oleh Indonesian Development and Islamic Studies (IDEAS), belanja hewan kurban oleh masyarakat pada Idul Adha tahun ini stagnan. Total nilai ekonomi kurban Idul Adha tahun ini diproyeksikan sebesar Rp24,4 triliun, atau tidak banyak berubah dari tahun lalu sebesar Rp24,3 triliun.

Jumlah orang Indonesia yang melakukan kurban pada hari raya Idul Adha tahun ini juga diperkirakan menurun yaitu dari sebanyak 2,17 juta orang tahun lalu menjadi 2,08 juta tahun ini. Angka itu masih jauh di bawah level sebelum pandemi Covid-19 merebak yang diperkirakan mencapai 3,5 juta orang.

"Kelesuan belanja hewan kurban masyarakat tahun ini di tengah berakhirnya pandemi dan normalisasi mobilitas masyarakat, ternyata tingkat pendapatan dan tabungan masyarakat kelas menengah belum mampu pulih sepenuhnya dari dampak ekonomi yang parah akibat hantaman pandemi 2020 lalu," kata Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas.

6. Kinerja ekspor-impor masih belum pasti

Pada Mei lalu, ekspor RI mencatat nilai US$ 21,72 miliar, naik 0,96% secara tahunan, setelah mencatat kontraksi atau pertumbuhan negatif dua bulan sebelumnya. Sedangkan impor pada Mei lalu tumbuh 14,35% secara tahunan. Surplus neraca dagang tercatat anjlok signifikan yaitu dari sebesar US$ 3,94 miliar pada April menjadi US$ 400 juta di bulan berikutnya.

    Badan Pusat Statistik (BPS) memberi catatan, mengacu pada data historis, peningkatan ekspor dan impor pada Mei lalu adalah siklus musiman pasca Ramadan-Idul Fitri.

    “Dalam 3 tahun terakhir, pertumbuhan ekspor terutama sebulan pasca liburan itu selalu meningkat. Kemudian 3 tahun terakhir ini, seperti yang terjadi pada ekspor, setelah libur lebaran impor selalu menunjukkan pola yang meningkat,” jelas Deputi Kepala BPS Bidang Neraca dan Analisis Statistik Moh Edi Mahmud dalam jumpa pers, Kamis (15/6/2023).

    Ada kemungkinan bulan-bulan setelahnya kinerja ekspor dan impor akan terus melambat seiring kelesuan ekonomi global. Ketidakpastian masih tinggi di mana laju investasi kemungkinan masih akan melambat sehingga menurunkan impor bahan baku/penolong dan barang modal. Minimnya investasi kemudian akan berdampak kepada penurunan produksi dan juga ekspor.

    “Pelambatan investasi akan menekan impor barang modal dan bahan baku dan penolong dalam beberapa bulan ke depan. Pertumbuhan kredit juga melambat, dan ini bahkan dampak pengetatan moneter belum sepenuhnya terasa dan akan lebih kentara pada semester II-2023,” komentar Satria.

    -- dengan bantuan laporan Elisa Valenta dan Hidayat Setiaji.

    (rui/aji)

    No more pages