Tingkat inflasi dunia diperkirakan turun, tetapi levelnya jauh lebih tinggi dari level sebelum pandemi. Di beberapa negara sektor keuangan mengalami kerapuhan.
"Indonesia termasuk negara yang memiliki pertumbuhan terkuat. Indonesia masih terus mempertahankan pertumbuhan di kuartal terakhir," kata Sri Mulyani.
Dari sisi Purchasing Managers' Index (PMI), aktivitas manufaktur dunia masih mengalami kontraksi. Hanya beberapa negara yang bisa melakukan ekspansi di atas 24%, diantaranya India, Filipina, Rusia, Jepang, dan China. Sisanya lebih dari 50% ekspansinya hanya 14%.
Menurut Sri Mulyani, data ini menggambarkan kondisi perekonomian dunia secara keseluruhan dan pertumbuhan global mengalami perlemahan. Ditambah lagi, harga komoditas juga masih menujukan perlemahan, seiring dengan permintaan tidak pasti dan melemah.
Harga gas alam, turun 38% secara year to date, harga batu bara turun 63,8%, harga minyak turun 14,3% dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) turun 15%. Disisi lain, harga pangan juga mengalami gejolak dan ketidakpastian.
"Ini lah yang menimbulkan dampak terhadap pemulihan dan pelemahan ekonomi dunia. Lonjakan harga menyebabkan inflasi dan pelemahan ekonomi baik di negara-negara maju dan berkembang," ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menjelaskan, inflasi merupakan salah satu dampak dari ketidakpastian perang, geopolitik, dan komoditas yang bergejolak, meskipun ada tren penurunan. ini menunjukan pergulatan di sisi moneter untuk negara-negara maju mengurangi inflasi.
Ini membuat suku bunga acuan di dunia meningkat, seperti di Eropa, yang sudah menimbulkan dampak terhadap perlemahan ekonomi.
"Kita perlu mewaspadai dari situasi global ini di semester II di negara-negara maju akibat bunga yg melonjak tinggi, maka pertumbuhan ekonomi mereka lebih lemah. Di emerging countries, suku bunga melonjak tinggi, memang bisa menjinakan inflasi, namun memukul ekonomi mereka," sebutnya lagi.
(hps/dhf)