“Jadi kira-kira, ada Rp9,3 triliun yang disiapkan untuk membuat rangkaian KRL baru di pabrik INKA di Banyuwangi dan Madiun, Jawa Timur. Kalau bisa dibuat dari dalam negeri kenapa tidak,” ungkapnya.
Adapun, terkait keputusan impor tiga rangkaian KRL baru, Luhut menyebut merupakan keputusan rapat yang dilakukan empat hari lalu bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). BPKP sebelum rapat tersebut sudah melakukan audit untuk menentukan apakah impor rangkaian KRL tetap akan dilakukan atau tidak.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menyebut hasil audit BPKP telah final dan disepakati bahwa tidak akan ada impor rangkaian KRL bekas untuk memenuhi kebutuhan KCI. Sebagai gantinya, akan dilakukan retrofit atau peremajaan terhadap kereta rel listrik (KRL) yang kondisinya kurang baik atau terlampau tua.
“Audit BPKP done, dong. Final. Kita sudah sepakat dalam rapat koordinasi yang dihadiri semua menteri, bahwa apapun yang menjadi hasil audit BPKP kita akan ikuti. Saya lihat enggak akan ada rapat lagi tuh. Tahun depan harus retrofit,” ujarnya saat ditemui setelah rapat kerja bersama Komisi VII DPPR RI, Senin (12/6/2023).
Dengan demikian, dia menggarisbawahi bahwa keputusan untuk tidak mengimpor kereta bekas dari Jepang bukan dilakukan sepihak oleh Kemenperin, yang notabene sejak awal menentang rencana pengadaan luar negeri tersebut.
“Menurut BPKP tidak diperlukan impor. Jadi sekali lagi, kita semua menteri sepakat apa yang menjadi keputusan BPKP kita ikut. Ini bukan sepenuhnya keputusan Kemenperin,” ujarnya.
Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia Didiek Hartantyo sebelumnya menyebut biaya impor kereta bekas cenderung murah. Impor juga dinilainya lebih solutif dalam menjawab kebutuhan penggantian unit KRL pada 2023—2024.
Didiek menyebut biaya pembelian kereta bekas mencapai sekitar Rp1,6 miliar per gerbong. Dengan demikian untuk satu rangkaian kereta atau trainset berisi 10 gerbong dibutuhkan seitar Rp16 miliar. Sebuah rangkaian kereta impor bekas bisa digunakan untuk operasional selama 15 tahun.
Menurutnya, kemampuan finansial KCI juga lebih cocok untuk skema pembelian kereta bekas. Dalam dua tahun tersebut, KCI membutuhkan 29 rangkaian yang masing-masing memiliki 10—12 gerbong.
Untuk membeli kereta baru, jelas Didiek, KCI butuh merogoh kas hingga Rp20 miliar per gerbong, atau sekitar Rp200 miliar per rangkaian. Dengan asumsi tersebut, artinya biaya pengadaan 29 rangkaian kereta bekas hanya mencapai Rp 464 miliar; sedangkan kereta baru Rp5,8 triliun.
Dalam rapat di DPR akhir Maret, Didiek menyebut KAI dan KCI tidak memiliki keuangan yang cukup besar untuk membeli kereta dalam jumlah besar dan mahal dalam waktu dekat. Sebagai badan usaha milik negara (BUMN), keduanya mendapat sejumlah penugasan yang juga membutuhkan dana.
Selain itu, operasional KCI juga sudah dipatok hanya bisa mendapat keuntungan 10% dari pemberian public service obligation (PSO).
"Soal keamanan, saya pastikan bertanggung jawab. Kalau kereta itu tak bisa memastikan keselamatan penumpang, pasti saya larang untuk digunakan," ujar Didiek.
Dia juga mengatakan, perwakilan KCI bersama tim audit BPKP sudah bertandang ke Jepang untuk memeriksa calon kereta yang akan dibeli KCI.
(rez/frg)