Logo Bloomberg Technoz

“Peristiwa di Stark berdampak terhadap kepercayaan investor, mereka kini sangat berhati-hati dengan keputusan investasi. Mereka kini tidak terlalu yakin mana perusahaan yang punya pengelolaan yang baik dan yang tidak. Starik sudah diaudit oleh salah satu firma keuangan terbaik dunia, tetapi auditor tidak bisa menemukan ketidakwajaran sebelum akhirnya meledak,” jelas Niwes Hemvachiravakorn, investor dan pendiri Thai Value Investor Club.

Akuisisi

Stark didirikan pada 1990. Awalnya bergerak sebagai perusahaan penerbit komik dan distributor dengan nama Siam Inter Multimedia Pcl. Kemudian berubah nama menjadi Stark Corp Pcl pada 2019, sekitar setahun usai Vonnarat Tangkaravakoon, pebisnis dari salah satu keluarga terkaya di Thailand, mengakuisisi mayoritas saham.

Per Oktober, Vonnarat adalah pemegang saham terbesar di Stark dengan 45%, menurut catatan Bloomberg.

Vonnarat mengubah perusahan menjadi produsen kabel elektrik dan suku cadangnya melalui akuisisi Phelps Dodge International (Thailand) Ltd. Sebelumnya, perusahaan ini adalah cabang Phelps Dodge International, perusahaan asal Amerika Serikat (AS), yang beroperasi di Thailand.

Anak sulung Prachak Tangkaravakoon (pendiri TOA Paint Pcl, produsen cat terbesar Thailand) ini sebelumnya adalah direktur eksekutif di TOA sejak 1998 hingga mengundurkan diri bulan lalu. Vonnarat juga memegang 9% saham TOA, meski perusahaan menyangkal hubungan dengan Stark.

Di bawah kendali Vonnarat, Stark mengalami pertumbuhan yang pesat melalui berbagai akuisisi. Termasuk bisnis produk industrial di Vietnam.

Pada Mei tahun lalu, Stark mengumumkan pembelian Leoni Group Automotive Cable Solutions, perusahaan asal Jerman, senilai EUR 560 juta (Rp 9,19 triliun). Ini adalah ekspansi perdana di luar Asia.

Bagi sebagian besar investor, sinyal adanya masalah kali pertama muncul pada Desember. Kala itu, Stark mengumumkan mundur dari pembelian Leoni. Padahal perseroan sudah mengumpulkan dana dari investor senilai THB 5,58 miliar (Rp 2,37 triliun) untuk membiayai pembelian tersebut, termasuk dari Credit Suisse dan HSBC Holdings Plc.

Stark menyebut uang itu akan digunakan untuk kebutuhan lain. Leoni AG dan Leoni Berodnetz-Systeme GmbH menuntut kompensasi sebesar EUR 608 juta (Rp 9,97 triliun).

Pada Februari, CEO Stark mendadak mengundurkan diri, menyebut faktor pribadi sebagai alasan. Pada akhir Februari, perusahaan menyebut tidak mampu menyerahkan laporan keuangan sesuai tenggat 1 Maret, menyatakan “beberapa informasi” sedang diperiksa oleh auditor. 

Perdagangan saham Stark kemudian disuspensi. Tidak lama kemudian, Chairman Chanin Yensidchai dan beberapa anggota dewan direksi lain undur diri.

Skandal Akuntasi

Saat Stark mengumumkan kepada investor pada akhir Mei bahwa penyerahan laporan keuangan kembali mundur, kecurigaan kian membesar. Investor 2 surat utang bernilai THB 2,24 miliar (Rp 955,57 miliar) mendesak pokok utang dan bunga segera dibayar.

Harga saham Stark anjlok 92% pada 1 Juni, hari pertama setelah suspensi selama lebih dari 2 bulan. Gagal bayar (default) pun terjadi di sejumlah obligasi dan pinjaman.

Sebagian besar investor menyadari masalah di Stark pada 16 Juni, saat perseroan akhirnya merilis laporan keuangan. Dilaporkan bahwa ada rugi bersih THB 6,61 miliar (Rp 2,82 triliun) pada 2022, setelah ada pada 2021 melaporkan rugi bersih yang direvisi sebesar THB 5,97 miliar (Rp 2,55 triliun). 

Sebelumnya, perseroan melaporkan laba bersih THB 2,78 miliar (Rp 1,18 triliun) pada 2021. Stark menyebut ada “sejumlah kesalahan” dalam laporan tersebut.

Pada saat yang sama, audit yang dilakukan PricewaterhouseCoopers menemukan beberapa kejanggalan. Beberapa di antaranya adalah 202 “transaksi penjualan yang tidak wajar” bernilai THB 8 miliar (Rp 3,41 triliun) pada 2021. Mereka menyertakan “nama pembayar” palsu dan “pembayaran atas nama rekening mantan karyawan”.

Selasa pekan ini, pemegang 3 seri obligasi yang jatuh tempo 2024-2025 dengan nilai total THB 6,95 miliar (Rp 2,96 triliun) juga meminta pembayaran segera, yang menambah masalah keuangan di Stark. Para investor mendesak perusahaan untuk membayar pokok utang dan bunga paling lambat 20 Juli.

Adisorn Songkhla Co, anak usaha Stark, juga mengalami default untuk 3 surat utang bernilai THB 127 juta (Rp 54,18 miliar).

Harga saham Stark merosot hingga mendekati nol. Kapitalisasi pasar menguap menjadi sekitar US$ 11 juta (Rp 164,1 miliar) dari puncaknya di US$ 1,7 miliar (Rp 25,36 triliun). 

Pekan lalu, Stark mengumumkan bahwa ada keraguan terhadap “masa depan grup”.

Per 31 Desember, Stark memiliki kewajiban senilai US$ 39 miliar (Rp 16,64 triliun). Sebagian besar adalah obligasi, pinjaman, dan kredit dagang.

Total ekuitas juga negatif THB 4,4 miliar (Rp 1,88 triliun), pertanda kewajiban melebihi aset.

Berikut adalah profil obligasi Starik:

Sumber: Bloomberg

Somjin Sornpaisarn, Presiden Thai Bond Market Association (TBMA), menyebut Stark adalah kasus yang terisolasi. Masalah di sana disebabkan oleh pengelolaan yang buruk.

Namun Stark adalah kasus gagal bayar terbesar setelah Thai Airways International Pcl mengajukan restrukturisasi pada 2020. Ini kemudian menciptakan kekhawatiran di pasar secara umum, terutama di obligasi.

Investor kini memasang posisi jual terhadap obligasi yang dipandang berisiko karena kecemasan perusahaan tidak bisa membayar kewajibannya, menurut TBMA. Beberapa perusahaan dengan rating di bawah layak investasi (investment grade) gagal menjual obligasi sesuai target setelah munculnya kasus Stark.

Regulator Thailand kini berupaya meningkatkan kepercayaan pasar. Thai Securities & Exchange Commission telah memerintahkan Stark untuk menggelar audit khusus, menginvestigasi kejanggalan dalam laporan keuangan.

Stock Exchange of Thailand berencana memperketat aturan mengenai backdoor listing seperti yang dilakukan Stark pada 2019 lewat Siam Inter Multimedia. Otoritas bursa juga akan lebih banyak memberi peringatan bagi perusahaan dengan penurunan kinerja keuangan seperti rugi yang berkepanjangan.

Stark pun semakin ditekan oleh kreditur. Asia Plus Securities Pcl, yang mewakili investor obligasi jatuh tempo 2024, menyatakan akan mempertimbangkan upaya hukum jika Stark gagal menyelesaikan kewajiban.

Kreditur lain juga mungkin akan menempuh langkah serupa. Stark menyatakan tengah bernegosiasi untuk mencari solusi.

(bbn)

No more pages