Logo Bloomberg Technoz

Namun, para ekonom menyangsikan stimulus tersebut bisa membantu perekonomian domestik agar mampu bangkit dari perlambatan yang semakin kentara saat ini. Sebab, isunya bukan sekadar pertumbuhan kredit.

Permintaan pembiayaan korporasi sejauh ini masih belum pulih akibat masih lesunya permintaan mitra dagang dan pesimisme dunia usaha akan peningkatan permintaan masyarakat, ungkap hasil survei BI terbaru. Stimulus untuk mendongkrak laju kredit menjadi kurang berarti bila permintaan pembiayaan dari korporasi terus melemah buntut dari kelesuan permintaan konsumen.

Situasi itu tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemulihan ekonomi Tiongkok yang ternyata mengecewakan.

Hasil survei BI yang dirilis 22 Juni lalu menyebut, kebutuhan pembiayaan korporasi untuk tiga bulan ke depan hingga Agustus, diperkirakan masih akan melambat dengan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) 23,2% dari SBT sebelumnya 29%. Beberapa sektor yang tercatat masih akan rendah kebutuhan pembiayaannya antara lain sektor konstruksi, pertambangan dan pertanian.

"Memperpanjang langkah-langkah kebijakan makroprudensial [melalui stimulus] menunjukkan BI khawatir dengan performa pertumbuhan ekonomi yang buruk. Kami percaya bahwa dengan PDB riil yang cenderung lebih lemah ketimbang perkiraan BI, berpotensi lebih dekat ke batas bawah target 4,5%, BI harus memulai melonggarkan kebijakan lebih cepat, daripada nanti," kata ekonom Societe Generale Kunal Kundu, seperti dilansir oleh Bloomberg News, Jumat (23/6/2023).

Gubernur BI, Perry Warjiyo Mengumumkan RDG Bulanan Bulan Juni 2023. (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

"Memperpanjang langkah-langkah kebijakan makroprudensial [melalui stimulus] menunjukkan BI khawatir dengan performa pertumbuhan ekonomi yang buruk. Kami percaya bahwa dengan PDB riil yang cenderung lebih lemah ketimbang perkiraan BI, berpotensi lebih dekat ke batas bawah target 4,5%, BI harus memulai melonggarkan kebijakan lebih cepat, daripada nanti,"

Kunal Kundu, Ekonom Societe Generale

Ekonom memperkirakan, BI akan memulai siklus pemangkasan bunga acuan BI7DRR untuk kali pertama pada Rapat Dewan Gubernur Desember mendatang. "Namun, kami tidak mengesampingkan penundaan [pemangkasan bunga] tergantung pada keputusan Federal Reserve pada akhirnya," kata ekonom.

Dampak stimulus likuiditas pada perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi dinilai dampaknya relatif terbatas dan belum akan mampu membantu Indonesia membalikkan tekanan perlambatan.

"Dampaknya terbatas dibanding pengguntingan bunga. Stimulus itu bisa menahan kejatuhan, tapi tidak mampu menaikkan," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas.

Terlebih inflasi domestik saat ini sudah landai meski mulai dihantui ancaman El Nino. BI sendiri optimistis inflasi IHK 2023 akan terjaga di 3,2%-3,5% bila dampak El Nino memburuk dan menaikkan inflasi pangan, khususnya kelompok volatile foods seperti komoditas hortikultura dan beras.

"Meskipun menjaga stabilitas nilai tukar menjadi agenda utama BI, kami melihat optimisme lebih tinggi dari BI terkait kestabilan inflasi walaupun ada El Niño. Menimbang volatillitas nilai tukar rupiah yang terjadi Mei lalu dan potensi El Nino, perkiraan kami siklus pemangkasan bunga acuan BI7DRR baru akan dimulai September atau Oktober sebesar 50 bps menjadi 5,25%," imbuh Lionel.

Namun, itu juga sangat bergantung pada perkembangan perekonomian Amerika. Pelaku pasar akan sangat menanti data-data perekonomian Amerika dalam tiga-empat pekan ke depan.

Data itu di antaranya rilis data inflasi Personal Consumption Expenditure (PCE) Mei yang akan keluar pada 29 Juni, lalu data pasar tenaga kerja AS pada Juni terutama tingkat pengangguran dan non-farm payrolls, serta data inflasi CPI (inflasi) Amerika Juni yang dirilis pada 12 Juli nanti. Bila data-data tersebut sesuai ekspektasi pasar dan memberi petunjuk The Fed untuk lebih dovish, itu akan menjadi kabar baik bagi rupiah dan memberi ruang ekspektasi penurunan bunga acuan BI7DRR. 

"Memang akan terlalu berisiko [menurunkan BI7DRR] bila The Fed menaikkan sampai 50 bps tahun ini, tapi itu akan tergantung pada rilis data Amerika tiga pekan ke depan. Bila data bagus, kondisi bisa berubah," jelas Lionel.

Namun, pemangkasan bunga acuan di tengah tekanan besar yang masih mengancam rupiah, bisa berisiko.

"Penurunan bunga acuan tampaknya tidak akan terjadi dalam waktu dekat. BI harus mendukung rupiah dengan intervensi dan twist operation untuk meningkatkan daya tarik imbal hasil (yield) investasi dan menarik aliran modal asing. BI terdengar waspada terhadap kenaikan bunga lebih lanjut dari Federal Reserve yang akan semakin mempersempit perbedaan suku bunga dan mengikis dukungan utama bagi rupiah. Pengetatan moneter sejak Agustus ditujukan untuk stabilitas nilai tukar. Terlebih arus masuk modal asing sejauh ini masih relatif kecil dan rentan terhadap pembalikan risk appetite pemodal global," jelas Tamara M. Henderson, ekonom Bloomberg Economics.

Daya Beli Perlu Stimulus?

Presiden Joko Widodo mengunjungi pasar tradisional (Sekretariat Presiden)

Kinerja penjualan ritel pada April, menurut laporan BI, tercatat tumbuh 1,5% secara tahunan, mengindikasikan perlambatan dibanding Maret sebesar 4,9%. Meski melihat ukuran bulanan, penjualan eceran April masih tumbuh 12,8%, naik dibanding Maret 7% terutama disokong penjualan kelompok sandang, seiring kedatangan perayaan Lebaran 2023.

Adapun selama Mei, hasil survei memperkirakan kinerja penjualan ritel hanya tumbuh 0,02%, melambat dibanding April 1,5%. Untuk perkiraan penjualan ritel selama kuartal II-2023, hasil survei juga memperkirakan perlambatan masih terjadi dengan proyeksi pertumbuhan hanya 0,8%, dari 1,6% pada kuartal I-2023.

Sementara prakiraan kinerja penjualan dalam 3-6 bulan ke depan yaitu Juli dan Oktober, hasil survei memprakirakan penjualan ritel akan menurun dengan Indeks Ekspektasi Penjualan masing-masing sebesar 129 dan 130,1.

"Penurunan penjualan pada Juli dan Oktober diperkirakan karena tertahannya permintaan domestik serta berakhirnya program diskon yang dilakukan oleh responden," jelas BI.

Ada kekhawatiran perlambatan ekonomi yang sudah berlangsung seiring pelemahan kinerja ekspor dan berakhirnya windfall komoditas, mulai memukul daya beli masyarakat. Salah satu indikasi adalah anjloknya inflasi inti pada Mei lalu menjadi 2,66% dari sebesar 2,83%. Dengan ancaman El Nino yang bisa menggelorakan harga pangan terutama kelompok hortikultura dan beras, daya beli masyarakat bisa semakin tertekan.

"Melihat apa yang terjadi 2014-2016 saat fenomena El Nino terjadi, dan tingkat inflasi harga pangan pada Mei lalu sebesar 3,34%, perkiraan kami inflasi harga pangan bisa naik ke 5%-7% dan inflasi IHK 4%-4,3% pada kuartal III-2023 akibat El Nino," kata Lionel. 

Beberapa kebijakan telah diluncurkan untuk mendongkrak daya beli masyarakat, di antaranya perpanjangan relaksasi kartu kredit hingga akhir 2023, di mana nasabah bisa membayar minimal 5% dari tagihan dan denda keterlambatan kredit dibatasi maksimal 1%. 

Baca juga: Insentif Pajak Rumah, 'Obat Kuat' kala Ekonomi Melambat

Lalu, keputusan pemerintah menaikkan batas harga jual rumah tapak yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi Rp162 juta-Rp234 juta untuk tahun ini dan sebesar Rp166 juta-Rp240 juta untuk 2024, menjadi langkah  yang diharapkan bisa membawa multiplier effect pada pertumbuhan ekonomi khususnya di sektor konstruksi dan properti. Sebelumnya, batas harga ditetapkan di angka Rp150,5 juta hingga Rp219 juta.

Selain itu, penambahan libur cuti bersama Idul Adha menjadi total tiga hari sehingga total hari libur pekan depan adalah 5 hari, ditujukan untuk mendorong belanja masyarakat terutama untuk mendongkrak sektor pariwisata, akomodasi, makanan dan minuman. Meski itu diragukan bisa signifikan mendorong laju perekonomian berkaca pada Lebaran 2023.

Baca juga: Tukin PNS Naik, Libur Idul Adha Ditambah, Bisa Dongkrak Konsumsi?

"Libur hari raya seharusnya bisa memperkuat ekonomi, khususnya di daerah-daerah pariwisata agar menjadi lebih baik. Karena itu kita melihat [cuti bersama] bisa diperpanjang seperti yang kita telah putuskan," kata Presiden RI Joko Widodo, dilansir dari Bloomberg News, Kamis (22/6/2023).

Baca juga: Libur Idul Adha Ditambah, Bisa Berdampak Negatif pada Ekonomi

BI menargetkan pertumbuhan ekonomi RI tahun ini di kisaran 4,5%-5,3%. Dalam gelar konferensi pers kemarin, Gubernur BI Perry Warjiyo optimistis dengan bauran kebijakan sejauh ini -menahan bunga acuan demi rupiah dan menggelontorkan stimulus untuk memacu pertumbuhan kredit bank- PDB 2023 tercapai di titik tengah 5%.

"[Target] pertumbuhan ekonomi tahun ini 4,5%-5,3%, titik tengahnya di 5%. Tapi, 5% itu sudah alhamdulillah dibanding negara lain," kata Perry.

(rui)

No more pages