Sedangkan Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) pekan lalu memang menahan suku bunga acuan. Namun Ketua Jerome Powell menyebut menaikkan suku bunga lebih lanjut adalah sesuatu yang layak (appropriate).
Sementara Bank Sentral Jepang (BoJ) masih setia dengan pelonggaran moneter. Suku bunga acuan di Negeri Matahari Terbit tetap bertahan di teritori negatif, tepatnya -0,1%.
Ini membuat berinvestasi di aset-aset berbasis yen jadi kurang menguntungkan, karena imbal hasil negatif. Bandingkan dengan imbal hasil positif di negara-negara G-10 lainnya. Maka tidak heran yen terpukul, akibat minimnya arus modal masuk (capital inflows).
Yen Jatuh di Hadapan Rupiah
Tidak hanya di hadapan mata uang negara-negara maju, yen juga melemah terhadap mata uang negara-negara berkembang. Tidak terkecuali rupiah.
Pada pukul 10:40 WIB, JPY 1 dihargai Rp 104,75. Yen melemah 0,46%.
Dalam sebulan terakhir, yen terdepresiasi 2,78% di hadapan mata uang Tanah Air. Sepanjang tahun ini, pelemahan yen mencapai 12,38%.
Saat rupiah menguat, pebisnis di Jepang yang akan membeli produk dari Indonesia harus membayar lebih. Barang dengan jumlah yang sama kini harganya lebih mahal, karena yen sedang melemah.
Namun apakah ini membuat ekspor Indonesia ke Jepang menjadi kurang kompetitif? Apakah ekspor ke Jepang turun?
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor non-migas Indonesia ke Jepang selama januari-Mei 2023 bernilai US$ 8,57 miliar. Turun 4,09% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Namun, sepertinya penurunan ekspor ke Jepang tidak bisa semata-mata dikarenakan faktor nilai tukar mata uang. Sebab, ekspor secara keseluruhan memang sedang bermasalah akibat perlambatan permintaan global.
Bahkan ekspor ke negara tujuan utama lainnya turun lebih dalam. Dalam 5 bulan pertama 2023, ekspor non-migas ke AS anjlok 23,16% dibandingkan periode yang sama pada 2022. Kemudian ekspor non-migas ke India, Australia, Korea Selatan, dan Taiwan turun masing-masing 12,98%, 13,81%, 22,94%, dan 11,1%.
Secara umum, permintaan di Jepang memang masih lemah. Aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) Jepang pada Mei 2023 berada di 50,6.
Namun rata-rata skor PMI manufaktur Jepang sepanjang 2023 adalah 49,13. PMI di bawah 50 menandakan industriawan sedang dalam fase kontraksi, bukan ekspansi.
Bagaimana dengan impor? Apakah yen yang lebih murah membuat barang asal Jepang lebih banyak masuk ke Indonesia?
Ternyata tidak juga. Sepanjang Januari-Mei 2023, nilai impor non-misal asal Jepang adalah US$ 6,83 miliar. Turun 0,84% dibandingkan 5 bulan pertama 2022.
Seperti ekspor, koreksi impor terjadi secara luas. Impor dari negara lain bahkan turun lebih dalam ketimbang dari Jepang.
Impor non-migas dari China pada Januari-Mei 2023 turun 3,22%. Kemudian dari Taiwan dan India anjlok masing-masing 17,45% dan 13,32%.
Seperti halnya di Jepang, dunia usaha Tanah Air juga mengalami masalah. Aktivitas manufaktur Indonesia memang masih ekspansif, tetapi lajunya melambat.
Rtaa-rata skor PMI manufaktur Indonesia selama 5 bulan pertama 2023 adalah 51,48. Turun dibandingkan rerata periode yang sama tahun lalu yakni 51,78.
Impor dari Jepang terkait erat dengan industri dalam negeri, karena mayoritas produk yang diimpor adalah untuk kebutuhan produksi. Jadi perlambatan aktivitas manufaktur domestik akan mempengaruhi impor dari Jepang.
Produk utama yang diimpor Indonesia dari Jepang selama kuartal I-2023 adalah:
-
Suku cadang dan aksesoris kendaraan bermotor (US$ 417,99 juta).
-
Kendaraan bermotor untuk angkutan barang (US$ 335,95 juta).
-
Produk gulungan logam (US$ 281,95 juta).
-
Perlengkapan teknik sipil dan kontraktor serta bagiannya (US$ 209,6 juta).
Oleh karena itu, sejauh ini bisa dikatakan bahwa depresiasi yen belum memberikan dampak yang nyata terhadap perdagangan Indonesia. Perkembangan ekspor dan impor lebih disebabkan hawa perlambatan ekonomi, terutama industri manufaktur, bukan karena dinamika kurs.
(aji)