Logo Bloomberg Technoz

Per 2022, sebanyak 824 ribu orang di Indonesia menderita TBC dan diperkirakan sebanyak 93 ribu orang meninggal setiap tahunnya. Oleh karena itu langkah cepat dan tepat diperlukan untuk pencegahan, diagnosis dan perawatan untuk menekan kasus TBC utamanya kasus TBC resisten obat.

“Kuman tuberkulosis yang beredar di Indonesia ini mulai resisten terhadap antibiotik yang ada sehingga dokter perlu tahu, pasien ini cocoknya obat apa, kombinasi obatnya yang mana. Kalau resisten obat kan harus menumbuhkan kuman TBC di laboratarium dan di Indonesia laboratorium yang bisa melakukan penumbuhan kuman itu sangat terbatas. Tidak semua lab yang bisa, saat ini baru 12 lab yang bisa,” ujar Dirjen Rizka.

Faktor keterbatasan jumlah laboratorium dapat berdampak pada waktu pengobatan pasien yang lebih lama. Misalnya bila tak terdapat lab di daerah tempat tinggal pasien  maka harus dikirim ke daerah lain. Adanya WGS ini akan memangkas waktu tersebut lebih cepat sehingga pengobatan bisa segera diberikan.

“Sekarang dengan menggunakan pendekatan pemeriksaan ini kita bisa memutus rantai yang tadinya membutuhkan waktu 4 minggu, dalam waktu 1 hari bisa dapat informasi bahwa kumannya itu punya kemungkinan resisten terhadap obat TBC yang ada,” kata dia lagi.

Melalui BGSi, pemeriksaan lain juga dapat dilakukan untuk deteksi dini penyakit dan pencegahan penyakit degeneratif seperti kanker, stroke, jantung, diabetes, hipertensi dan demensia.

Rizka merinci, saat ini BGSi sudah dilaksanakan di 9 rumah sakit yang menjadi rumah sakit rujukan sekaligus pengampuan nasional yakni RSUPN Cipto Mangunkusumo untuk penyakit metabolik terutama diabetes, RS Dharmais untuk penyakit kanker, RS Pusat Otak Nasional untuk penyakit stroke, RSPI Sulianti Saroso untuk penyakit menular Tuberkulosis, RSUP Persahabatan untuk penyakit menular TB, RS Ngoerah untuk wellness and beauty, RS Sardjito untuk penyakit genetik/penyakit langka, RSJPD Harapan Kita untuk penyakit jantung, serta RSAB Harapan Kita untuk kesehatan ibu dan anak. Seluruhnya telah dilengkapi dengan mesin-mesin sequencing yang mampu memproses ratusan sampel setiap minggu.

“Data-data sequencing ini dikerjakan di Indonesia tidak ada sampel yang dikirim keluar dari negara ini. Semuanya pemeriksaan dan analisis data dilakukan di Indonesia, untuk penyimpanan data, Kemenkes juga bekerjasama dengan BSSN,” tutupnya.

(ezr)

No more pages