Meski demikian Korlantas belum tentu menghapus jalur mengemudi yang disebut sangat sulit tersebut. Kata dia, bisa saja polisi akan mengubah sejumlah hal; termasuk lebar rute dinilai terlalu sempit.
Pada dasarnya, kata dia, Polri tetap butuh ujian teori dan ujian praktik sebagai legitimasi bahwa yang mengajukan SIM memang memenuhi kualifikasi mengemudi. Dua jenis ujian ini kata dia ingin memastikan masyarakat memang bisa mengemudi dengan aman; serta paham tentang berlalu lintas yang baik.
"Karena yang dihadapinya ini potensi kecelakaan. Dan ini bukan hanya kita (pemegang SIM), tapi orang yang juga bisa jadi korban kecelakaan di jalan," kata Yusri.
Dalam waktu segera Korlantas akan membentuk kelompok kerja atau Pokjam evaluasi ujian SIM. Sejumlah pakar dan ahli akan dilibatkan untuk menguji relevansi seluruh materi ujian yang berlaku saat ini.
“Karena kita tahu, yang dilakukan ujian teori dan praktik ini adalah legitimasi, kompetensi dan keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap para pengendara pemohon SIM,” kata dia.
"Kami juga akan lakukan studi banding ke negara-negara maju. Karena di semua negara juga sama. (Ujian SIM) itu untuk legitimasi pemberian SIM," ujar Yusri.
Selain itu, Korlantas juga bisa menerapkan teknologi yang lebih canggih dalam ujian praktik SIM. Salah satunya adalah electronic drive. Dengan teknologi ini, polisi tak akan menggunakan pembatas fisik seperti cone pada jalur ujian praktik yang disebut kerap membuat peserta grogi.
"Perlu diingat, korban meninggal dunia akibat kecelakaan itu sangat tinggi. Jangan sampai karena ada yang tak beretika dalam mengemudi menyebabkan orang lain meninggal dunia," kata Yusri.
(frg/ezr)