Itu mungkin dalam skenario ekstrem bisa memaksa kenaikan bunga acuan lagi dengan risiko melukai perekonomian domestik lebih dalam.
Namun, sejauh ini, BI memilih bersikap defensif dengan mempertahankan bunga acuan sembari berhati-hati menanggapi potensi kenaikan bunga acuan global di sisa tahun ini dengan mengandalkan amunisi utama yaitu intervensi langsung ke pasar untuk menjaga stabilitas rupiah. Meski itu akan menguras nilai cadangan devisa lebih jauh.
"Kami lebih fokus pada obat yang langsung bisa menjaga stabilitas nilai tukar yaitu dengan meningkatkan intensitas intervensi. Sehingga wajar bila nilai cadangan devisa yang bulan sebelumnya di atas US$ 144,5 miliar, turun jadi US$ 139 miliar. Kami gunakan [cadangan devisa] untuk menjaga rupiah. Cadangan devisa yang kami kumpulkan ketika terjadi aliran modal masuk [inflow] besar, kami gunakan saat ada outflow," jelas Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia dalam konferensi pers pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (22/6/2023).
Selain intervensi langsung, BI juga menjalankan stabilisasi rupiah melalui triple intervention dan twist operation untuk mengendalikan inflasi barang impor (imported inflation) dan memitigasi risiko rambatan ketidakpastian pasar keuangan global. "Operasi moneter valas terus diperkuat, termasuk optimalisasi Term Deposit Valas Devisa Hasil Ekspor serta penambahan frekuensi dan tenor lelang Term Deposit Valas jangka pendek," jelas Perry.
Selama kuartal II-2023 hingga data 20 Juni, BI mencatat net inflows sebesar US$ 130 juta. Sedang selama Juni saja sampai laporan disebutkan, Indonesia mencatat aliran modal keluar US$ 870 juta menyusul meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
Transaksi berjalan kuartal II ini diperkirakan masih akan surplus walau Mei lalu nilai surplus neraca dagang mencatat anjlok signifikan menjadi tinggal US$ 440 juta.
Di mata analis, keputusan BI mempertahankan bunga acuan di level 5,75% di saat proyeksi kenaikan Fed fund rate bisa dua kali lagi di sisa tahun ini, menunjukkan kehati-hatian bank sentral menanggapi pandangan terbaru Federal Reserve.
"Pengaruh transmisi bunga acuan Fed [FFR] akan semakin nyata melalui yield surat utang negara. Bila imbal hasil SUN-10 tahun terus turun dan mendekati 6%, menurut kami BI tidak perlu menaikkan bunga acuan. Selain itu, bila tingkat inflasi tetap terkelola baik dengan kisaran target pada semester II nanti, ruang kenaikan bunga BI7DRR akan terbatas," kata Faisal Rachman, Ekonom Bank Mandiri dalam catatan, setelah konferensi pers RDG usai.
Pada penutupan perdagangan Kamis ini, yield atau tingkat imbal hasil Surat Utang Negara di hampir semua tenor terpantau turun mengindikasikan tekanan jual di pasar obligasi negara mulai mereda. Yield SUN 10 tahun parkir di level 6,295%, mengindikasikan selisih yield dengan US Treasury -surat utang pemerintah AS- di tenor yang sama sebesar 254 basis poin.
Selisih di bawah 300 bps dinilai kurang kompetitif bagi pemodal yang akan cenderung memilih surat utang dengan rating kredit lebih tinggi dari negara ekonomi maju.
Mempertahankan BI7DRR di level saat ini hingga akhir tahun akan menjadi kebijakan yang lebih baik meski kewaspadaan terhadap ketidakpastian global yang makin signifikan harus kian besar, tambah ekonom.
Stimulus untuk Dorong Pertumbuhan
Dengan ketidakpastian yang masih begitu besar dan berisiko menggoyahkan rupiah, BI diperkirakan cenderung mempertahankan BI7DRR di level tinggi sampai kejelasan arah perekonomian global lebih terang.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang mulai melambat akibat pengetatan moneter yang sudah berlangsung sejak tahun lalu, BI telah menggelontorkan stimulus likuiditas yang diberikan pada 122 bank senilai Rp108 triliun, yang digunakan untuk mendukung penyaluran kredit ke 46 sektor strategis, terutama terkait agenda pemulihan ekonomi terdampak pandemi.
"Hasil evaluasi kami menunjukkan stimulus makroprudensial dalam bentuk likuiditas mampu menjaga pertumbuhan kredit pada Mei dengan kenaikan 9,39% dari 8,08% pada bulan sebelumnya. Jadi, kebijakan stimulus ini efektif dalam mendorong pertumbuhan kredit," tambah Deputi Gubernur BI Juda Agung dalam kesempatan yang sama.
Pembiayaan syariah juga tumbuh 19,45% pada bulan lalu disusul segmen UMKM yang mencatat pertumbuhan kredit 7,61% terutama didukung oleh penyaluran kredit usaha rakyat senilai Rp80,25 triliun sampai Mei lalu.
Kebijakan stimulus itu akan dilanjutkan dengan mengubah fokus untuk mendorong industrialisasi baik hilirisasi pertambangan, pertanian dan sektor yang dapat mendorong pertumbuhan lebih cepat seperti perumahan yang menjadi leading sector. Kebijakan stimulus likuiditas lebih lanjut itu masih difinalisasi dan akan diluncurkan bulan depan.
Bank sentral optimistis dengan bauran kebijakan yang dijalankan sejauh ini, pertumbuhan ekonomi RI pada 2023 yang diperkirakan antara 4,5%-5,3% akan bisa tercapai di titik tengah 5%.
"Pertumbuhan ekonomi tahun ini 4,5%-5,3%, titik tengahnya di 5%. Tapi, 5% itu sudah alhamdulillah dibanding negara lain," kata Perry.
--dengan bantuan laporan dari Krizia P. Kinanti
(rui)