Logo Bloomberg Technoz

Selain itu, pemulihan ekonomi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa ternyata berlangsung lebih baik dari yang semula diperkirakan. Data-data realisasi kinerja pertumbuhan ekonomi AS dan Eropa pada dua kuartal terakhir 2022, lebih baik daripada proyeksi. “AS sudah mampu mengendalikan harga energi, isu supply-chain juga sudah diatasi ditambah shipping cost yang sudah ke level sebelum krisis,” jelas Sunarsip pada Bloomberg Technoz.

Kebijakan uang ketat The Federal Reserves terbukti cukup ampuh menjinakkan inflasi sehingga harapan atas pemulihan ekonomi jadi lebih besar. Walau IMF memperkirakan AS akan tumbuh 1,4% tahun ini, turun dari 2% pada 2022. Sedang pada 2024, pertumbuhan ekonomi AS bakal semakin melambat menjadi 1% karena masih terimbas efek kebijakan uang ketat nan tajam dari The Fed. 

Di sisi lain, Eropa dinilai sudah lebih mampu mengamankan cadangan energi setelah krisis pasokan dari Rusia. Ini yang membuat capaian pertumbuhan ekonomi Eropa pada kuartal III-2022 lalu, menurut Sunarsip, lebih baik dibandingkan proyeksi sebelumnya. IMF memprediksi Eropa akan mencatat pertumbuhan 0,7% pada 2023 sebelum naik menjadi 1,6% pada 2024. 

Angin segar yang bertiup dari 3 kekuatan ekonomi besar dunia yaitu AS, China dan Eropa, menurut ekonom, memberi optimisme terhadap pemulihan ekonomi 2023 dan tahun-tahun mendatang. Termasuk untuk Indonesia. “Ekspor Indonesia terhadap tiga jangkar ekonomi dunia itu mencapai 40% dari total,” jelas Sunarsip.

China tunjukkan perbaikan aktivitas ekonomi (Sumber: Bloomberg)

Ekspor tekstil, sebagai contoh, bisa kembali bangkit setelah dua tahun terakhir mati akibat pandemi dan lonjakan inflasi global. Selain itu, terhadap China, pembukaan lagi perekonomian akan menguntungkan kinerja ekspor Indonesia. Utamanya untuk sektor komoditas olahan berbasis energi, mineral, logam dan pertanian. 

Inflasi dan suku bunga

Optimisme yang merebak dari perkembangan di China, AS dan Eropa, tidak serta merta membuat roda pemulihan ekonomi global menjadi mulus bak jalan tol. Inflasi tinggi masih akan menjadi momok besar yang membebani laju pemulihan ekonomi dunia. “Kita masih jauh dari kemenangan melawan inflasi,” ujar Chief Economist IMF Pierre-Olivier Gourinchas dalam wawancara dengan Bloomberg TV, Selasa (31/1/2023).

Tingkat inflasi global pada 2023 diproyeksi akan melandai ke kisaran 6,6% setelah mencapai 8,8% pada 2022. Penurunan inflasi akan terus berlangsung pada 2024 dengan proyeksi di kisaran 4,3%. Akan tetapi, angka inflasi itu masih berada di atas angka sebelum pandemi di rentang tahun 2017-2019 di kisaran 3,5%. 

Walau di beberapa negara besar terlihat inflasi mulai menjinak, sebenarnya tekanan kenaikan inflasi inti di banyak negara terlihat masih belum memuncak di mana angkanya masih berada di atas level sebelum pandemi terjadi. Ini yang harus menjadi perhatian utama pemegang kebijakan moneter agar tidak terburu-buru menghentikan kebijakan hawkish mereka. Menurut Tobias Adrian, Direktur Moneter and Capital Market Department IMF, dengan risiko inflasi yang masih tinggi, menahan kenaikan suku bunga akan lebih berisiko dibandingkan menaikkan bunga acuan lebih lanjut.

Bank sentral sebaiknya terus melanjutkan kenaikan bunga karena inflasi belum sepenuhnya jinak (Bloomberg)

Inflasi inti global diperkirakan menurun menjadi 4,5% pada kuartal IV-2023 dari posisi sebelumnya sebesar 6,9%. Proses disinflasi ini akan memakan waktu lebih lama. IMF mencatat, pada 2024, rata-rata angka inflasi tahunan dan inflasi inti masih akan berada di atas level sebelum pandemi di mayoritas perekonomian. 

Indonesia juga tidak kalis dari situasi terjal itu. BI diperkirakan masih akan mengerek bunga acuan sampai akhir tahun ini. “Inflasi kita masih di atas target, inflasi inti juga masih di atas 3%,” kata Sunarsip. Kebijakan menaikkan bunga acuan itu, menurutnya, dibutuhkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah karena bagaimanapun Indonesia masih membutuhkan real interest rate positif agar dana pemodal asing (investasi portofolio) tetap bertahan di pasar domestik. “Perkiraan saya, BI7DRR tidak lebih dari 6,50% pada akhir tahun 2023 nanti,” jelasnya.

Per 19 Januari lalu, posisi BI7DRR berada di level 5,75%. Dengan inflasi tahunan pada 2022 mencapai 5,51% dengan inflasi inti berada di angka 3,36%. David Sumual, Chief Economist Bank Central Asia, memperkirakan, ruang kenaikan bunga acuan BI7DRR masih ada walau tidak akan sedrastis tahun lalu. Inflasi Januari ia prediksi sebesar 5,4% dan BI memiliki ruang untuk melanjutkan kenaikan bunga sebesar 25 basis poin. Kenaikan mungkin akan berlanjut bila The Fed masih melanjutkan kebijakan hawkish secara agresif. “Namun, BI juga pasti melihat kondisi inflasi domestik,” jelasnya.

Kebijakan moneter ketat itu tentu pada akhirnya berdampak pada kenaikan biaya pinjaman alias bunga kredit. Umumnya, efek kenaikan bunga acuan membutuhkan waktu antara 6-12 bulan terhadap bunga simpanan dan kredit bank. “Sejauh ini efeknya masih minim, tapi pada kuartal II dan III-2023 kita akan melihat efeknya ke bunga pinjaman bank,” jelas David.

Josua Pardede, Chief Economist Bank Permata, memperkirakan BI masih akan melanjutkan kenaikan bunga sebesar 25 basis poin hingga 6% pada semester I-2023 dan akan mempertahankan level itu sampai akhir tahun. “Ini supaya inflasi tetap terkendali dan rupiah stabil di mana keduanya akan beri dorongan stabilitas perekonomian domestik,” kata Josua.

Ancaman resesi masih ada?

Meski masih dibayangi momok inflasi dan tingginya bunga pinjaman, ancaman resesi bagi perekonomian domestik boleh dibilang kecil. Melambat bukan berarti resesi. Pembukaan lagi ekonomi China menjadi game-changer yang membuat prospek ekonomi global dan domestik menjadi lebih optimistis. “Selama kebijakan Nol-Covid, stok barang di China sangat besar karena ekspor mereka berkurang. Jadi, setelah dibuka, produk China akan kembali membanjir dan itu bisa melandaikan lagi harga dan menyumbang penurunan angka inflasi global,” tambah David. 

David menggarisbawahi, ada banyak salah persepsi di kalangan pelaku sektor riil terhadap ancaman resesi tersebut. Banyak kabar seputar PHK karyawan terutama di sektor teknologi baik yang terjadi di level global maupun domestik, memicu sentimen negatif. “Ada mispersepsi bahwa resesi akan terjadi di Indonesia dan itu mempengaruhi keputusan ekspansi para pebisnis di mana mereka akhirnya ragu berinvestasi,” kata David.

Hasil analisis terhadap 800 perusahaan yang tercatat sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada kuartal III-2022, memperlihatkan bahwa mayoritas pengusaha masih menahan ekspansi mereka gara-gara mispersepsi itu. "Pertumbuhan omset naik double digit mencapai 28% tetapi belanja modal atau capital expenditure korporasi hanya tumbuh 8%. Ini memperlihatkan ada keraguan di kalangan pengusaha untuk berekspansi padahal dari sisi kinerja penjualan sudah bagus," jelas David pada Bloomberg Technoz.

Ancaman resesi lebih kuat dihadapi oleh negara-negara maju, terutama dari kawasan Eropa dan AS. Inggris misalnya diprediksi akan resesi tahun ini dengan pertumbuhan terkontraksi 0,6%. Hal yang sama kemungkinan juga mengancam perekonomian Eropa lain seperti Italia, Spanyol, dan lain-lain.

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers Selasa sore, menyebut, AS dan Eropa berpotensi mengalami resesi tahun ini. "Meskipun kita melihat tetap pada tingkat tinggi seiring dengan masih tingginya harga-harga energi dan pangan dan juga berlanjutnya gangguan rantai pasok serta masih ketatnya pasar tenaga kerja di AS dan Eropa," kata Sri dalam konferensi pers KSSK, Selasa sore.

Adapun untuk Indonesia, ancaman resesi itu boleh dibilang masih jauh. Walau melambat, ekonomi domestik tahun ini masih akan mampu tumbuh positif. Sunarsip memperkirakan target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini sebesar 5% akan tercapai dengan membaiknya kondisi China, AS dan Eropa. Proyeksi serupa juga datang dari David. Perkiraan dia, Indonesia masih mampu mencetak pertumbuhan di angka 5% tahun ini, melambat dari 2022. Skenario terburuk, ekonomi domestik 2023 akan tumbuh di kisaran 4,5%-4,7%. 

Sementara menurut analisis Josua Pardede, Chief Economist Bank Permata, pertumbuhan ekonomi domestik tahun ini akan melambat ke kisaran 4,7% hingga 4,9% dan baru akan menggeliat naik pada 2024 ke kisaran 5,1%. Faktor China yang membuka lagi perekonomiannya memang memberi optimisme. Namun, potensi penurunan harga komoditas serta perlambatan permintaan global masih menjadi tantangan Indonesia tahun ini. “Konsumsi rumah tangga bisa menjadi potensi pendorong sehingga ekonomi kita tetap resilient di tengah ketidakpastian global,” jelas Josua. Pengumuman resmi angka pertumbuhan ekonomi RI pada 2022 akan diumumkan pada 5 Februari nanti. 

(rui/roy)

No more pages